Waktu ke Solo kemarin, aku nyempetin mampir di warung Sego Kucing alis HIK (Hidangan Istimewa Kampung). Warungnya sangat sederhana dengan beberapa penganan yang tersedia. Jajanan pokok warung ini adalah nasi yang sudah dikemas dalam bungkusan kertas minyak, dipadukan dengan sambal dan sepotong ikan bandeng.
Selain itu disini tersedia juga cemilan pendukung lainnya, antara lain burung puyuh goreng, sate kikil, sate telur puyuh, sateb usus ayam, sate rempela ayam, sate jantung dan ati ayam, goring tahu , tempe mendoan, bakwan, pisang rebus, papaya, kacang rebus. Minumannya wedang jahe rempah-rempah, kopi tubruk, kopi susu, teh manis, teh poci, jeruk peres.
Sebenarnya aku nggak berniat singgah kewarung ini, tapi dari depan Pasar Ayu yang pas berada di sebelah Stasiun Kereta Api Solo Balapan, kulihat sebuah gerobak dengan pengunjungnya ramai banget. Keluar masuk silih berganti, mulai dari supir taksi bahkan ada yang bermobil pribadi mampir juga. Aku pun jadi kepengen tahu apa sih yang dijual diwarung itu.
Ketika aku masuk masih ada kursi kayu yang kosong, langsung kududukan bokong-ku sambil memesan teh tawar. Oh ternayata diwarung ini jual yang namanya nasi HIK, alais “SEGO KUCING” atau “nasi kucing” atau angkringan kalau di Yogya. Kok disebut nasi kucing…? Tanya ku pada Mas Alex sang pemilik warung. Dia bilang nasinya itu porsinya sedikit dan didalamnya dari jaman dulu isinya cuma kepala ikan cue atau ikan asin, yang biasa diberikan buat makan kucing. Makanya nasi ini disebut nasi kucing.
Tapi sesuai perkembangan jaman dan selera peminatnya, saat ini banyak variasi cemilan yang tersedia. Tergantung dari selera pasar pengunjung, ada yang menyediakan empal dan babat goreng, ada ayam goreng, ada juga yang menyediakan gule bahkan sampai sayur lodeh pun ada.
Makan disini suasananya enak banget, boleh duduk sambil angkat kaki atau tertawa terbahak-bahak nggak dilarang. Bahan pembicaraan pun nggak terbatas, boleh politik, wayang orang, suasana kota Solo atau apa saja, namanya juga warung warga kelas bawah jadi semuanya bisa diceritakan membuat suasana ceria.
Apalagi sore itu ada pengunjung yang bernama Mas Rejo, menceritakan pengalamannya mempunyai teman waria yang numpang kencing ditoilet pria stasiun kereta. Katanya dia sih nggak jijik neglihat gaya temannya itu, cuma dia bingung melihat seksi paha waria yang di-umbar. Apakah sebenarnya dia melihat aurat atau nggak..? Terus jika waria itu masuk ke toliet wanita, apakah para wanita yang didalam nggak pada protes, kan mereka sebenarnya laki-laki.. jadi aurat para wanita terlihat dong..! Juga kalau mereka masuk ke toilet laki-laki, apakah laki-laki nggak pada risi diintip oleh para waria itu..?
Mendenga cerita mas Rejo dalam hati aku berpikir, bagaimana caranya agar sebuah penyimpangan nggak jadi pembenaran dan pembiaran. Kasihan kalau kita mencaci, mereka juga punya perasaan yang rapuh apabila diperlakukan semacam itu. Belum lagi kalau mereka akan mengerjakan sholat , pakai mukena atau cukup pakai sarung saja… terserah deh, semua tergantung cara pandang mereka terhadap diri sendiri. Aku bukan seorang yang religius tapi aku yakin semua yang diciptakan Tuhan ada manfaatnya.
Kembali ke warung nasi kucing, sore itu akau juga minta burung puyuh yang tersedia. Sebelum kumakan Mas Alex memberitahukan bahwa sebaiknya burung tersebut dibakar dulu, setelah itu diberi sedikit bumbu yang diramunya, dia jamin bahwa rasanya nggak kalah dengan yang ada direstoran besar. Benar saja…! baru gigitan pertama, sudah kurasakan kenikmatan yang luar biasa. Pantaslah kalau pengunjung warung ini datang silih berganti. Ternya warung kakilima yang dikelolanya Mas Alex memberikan cita rasa yang fantastis.
Rasa teh seduhannya juga lain dari teh yang pernah kuminum. Mas Alex menggunakan teh bermerek “catut”, yang tubruk bukan yang celup. Agar menjadi wangi dan rasanya enak, dia memberi ramuan berupa campuran gula tebu dengan vanilla dan bunga melati. Rasanya nggak terlalu manis tapi menimbulkan aroma yang sedap, aku nambah sampai dua gelas.
Setelah puas nongkrong disini dan perutku juga kenyang, kutanya berapa semua harga yang telah kumakan. “Tigowelas ewu Pak..” jawab Mas Alex. Lho kok murah bener dalam hatiku.. nggak salah hitung Mas, tanyaku. “Mboten pak, pun leres niku, pancen samenten regine..”. Ah baiklah kalau begitu jika nggak salah hitung.
Ternyata warung ini selain murah, memiliki rasa yang universal khas jawa. Menurut orang yang duduk disampingku, bukan hanya penduduk lokal yang menggemari masakan warung Sego Kucing, bahkan ada wisatawan bule yang sering makan disini. Selain masakannya nikmat, enak juga buat kongkow sambil menikmati obrolan arus bawah yang ada di akar rumput, sekalian nyobain suasana obrolan ndeso. Ok Bro and Sis….. poro kawulo… konco-konco monggo mampir riyen….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H