“Menemukenali Kearifan Lokal dalam Dunia
yang Tunggang Langgang”
(dibawakan pada Seminar Budaya Lokal oleh Keluarga Mahasiswa Sinjai -KMS POLTEK
16 Februari 2013)
Sebagian judul ini terinspirasi oleh pernyataan Anthony Giddens, seorang pemuka pemikir Jalan Ketiga (The Third Way). Adalah Giddens yang menyatakan “dunia sekarang” yang sedang kita diami dan jalani sebagai “dunia tunggang langgang”, sebuah dunia yang kini terjerumus dan terpenjara ke dalam berbagai bentuk polarisasi budaya baik global maupun lokal. Metaforik Giddens meyakini kita semua sekarang terbirit-birit, terputar-putar dan terbolak balik di “lingkar tak bermoral di antara perasaan geram dan tersengat” (vicious animosity and venom). Semisal Truk Raksasa, dunia ini membawa banyak muatan, berlari kencang, terbirit dan terputar di situ-situ saja, tanpa tujuan.
“Dunia Sekarang”, sedikitnya memperlihatkan 3 (tiga) dampak utama yang mudah dikenali, Pertama, munculnya globalisasi sebagai arus utama yang bergerak secara simultan melalui kekuatan-kekuatan inovasi besar di bidang teknologi komunikasi yang kreatif, transportasi yang massif dan internet yang aksesnya pada akhirnya mengecilkan dunia dalam banyak pengertian dan perspektif. Para ahli menyebutnya “tidak lebih dari sebuah desa global (global village) yang dapat dicipta di ujung – ujung jari depan computer mini.
Kedua, pada detik bersamaan, bergerak pula proses-proses detradisionalisasi, proses-proses dimana tradisi-tradisi etnik pada bangsa-bangsa tidak lagi dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan. Etnik-etnik kemudian terpinggirkan ke citra “primitive” dan tradisi-tradisinya yang dahulu dimanfaatkan untuk kehidupan bersama pada akhirnya ditinggalkan. Sisi excellence (keunggulan) dan virtue (kebajikan) dari eksistensi etnik tidak lagi dijadikan sebagai tempat berpaling.
Ketiga, bersamaan itu pula individu-individu bergerak membentuk “social reflexity”, suatu keadaan dimana banyak individu pada akhirnya harus mengambil keputusan sendiri-sendiri, tidak menyandarkan diri pada globalisasi dan tidak juga pada virtue etnik.
Dalam penilaian Giddens, ketiga situasi seperti ini berlarian kesana-kemari tanpa tujuan dan tanpa pertemuan. Globalisasi berjalan sendiri sebagaimana detradisionalisasi dan social reflexity. Berlangsungnya dan berlarinya logika dari ketiga proses secara sendiri-sendiri inilah kemudian mengukuhkan “dunia tunggang langgang”.
Apakah juga situasi Indonesia beranalogi Tunggang Langgang? Sejak tahun 1998, pendulum system politik benar-benar bergerak secara radikal dan dengan estrem bergeser dari satu system totalitarian ke system yang lebih terbuka di bawah rezim reformasi. Penanganan masalah masalah pemerintahan pun ikut bergeser dari cara-cara teknokratis ke cara-cara yang berbasiskan konstituensi.
Di era orde baru, sejak paruh pertama tahun 1960, praktik pembangunan---kemudian dikenal dengan ideology pembangunanisme--- dirancang dan diimplementasikan melalui pengendalian bangunan struktur sentralistik yang diakses dan dikuasai oleh kelompok-kelompok teknokrat yang dianggap ahli dan terampil di bidangnya. Bayaran termahal dari semua ini adalah tertutupnya aspirasi dan partisipasi bagi sebagian bbesar kelompok-kelompok masyarakat terhadap seluruh proses –proses pembangunan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Di era reformasi, melalui pergulatan besar dengan korban yang tidak sedikit, desentralisasi kekuasaan politik dilangsungkan sedemikian rupa. Sumber-sumber kekuasaan yang dahulu dikonsolidasi melalui struktur sentralistik kemudian disebar ke tingkat lokal. Praktik-praktik kekuasaan pun disebar ke kelompok-kelompok agency di tingkat lokal. Bayarannya juga tidak murah. Proses-proses politik yang diambil alih oleh kelompok-kelompok agency untuk memperebutkan kekuasaan politik lokal, secara factual menandai munculnya berbagai gejala. Gejala pertama oleh sosiolog disebut sebagai venalitas, ditandai oleh permainan uang secara sedemikian rupa untuk memenangkan pertarungan. Sedemikian buruknya dan sedemikian tidak bermoralnya, suara pemilih sebagai bagian penting dari pernyataan hak politik rakyat, dicerna sebagai sesuatu yang dapat dibeli. Maka, proses pembelian pun dilakukan dengan berbagai cara dan berbagai modus melalui ‘agency” yang berada di ranah paling bawah. Warga pun menjadi terbiasa dan mencernanya sebagai sesuatu yang lumrah. Proses saling mempecundangi warga dengan “membeli” dan warga juga “mempecundangi” politisi dengan “menjual”.
Di rentang waktu yang sama, bermunculan gejala yang sangat mengusik, terutama jika ditimbang dari sisi keperluan eksistensi Indonesia sebagai Negara yang kaki-kaki bangsanya terdiri dari berbagai keanekaragaman etnik dan budaya. Gejala yang dimaksudkan adalah ”cultural bleeding”, yaitu gejala berlangsungnya pendarahan di antara hubungan, interaksi serta perjumpaan antar etnik dan kebudayaan. Kisah dan peristiwa konflik di Ambon, Aceh, Papua, Sampit, Sampang, Poso, adalah gambaran transparan dari panggung-panggung drama dan konflik sosial. Yang secara benderang memperlihatkan bahwa bangsa ini memang mengalami pendarahan budaya (cultural bleeding). Langkah untuk menyumbat pendarahan ini mesti diambil dengan cara merumuskan dan mendamaikan kembali semua kebijakan struktur dengan peran – peran agency yang memungkinkan merekatkan kembali apa yang telah tercerai berai. Jika tidak, etnik-etnik, budaya yang terbahasakan di dalam teks konstitusi sebagai suku-suku bangsa tidak lagi menjadi kaki-kaki yang kokoh bagi bangsa ini. Bukankah kata “suku” bermakna sebagai “kaki”. Jangan biarkan kaki-kaki bangsa ini berlarian tunggang langgang.
Kearifan Lokal dalam Preskripsi Global
Kearifan lokal dapat menjelma sebagai “substansi ucapan” maupun sebagai “praktek kehidupan”. Sebagai substansi ucapan, kearifan lokal menjelma sebagai pernyataan hikmah kebijaksanaan dalam bentuk nyanyian, peribahasa, petuah, semboyan, dll. Sebagai “praktik kehidupan”, kearifan lokal menjelma dalam bentuk perilaku hidup yang penuh hikmah kebijaksanaan sebagai hasil terjemahan dari substansi nyanyian, peribahasa, petuah, semboyan dan pesan-pesan lain. kearifan lokal dapat berkontribusi tinggi jika dia tidak hanya menjadi substansi ucapan baik tetapi juga dapat menjadi “ praktek kehidupan baik”.Berikut adalah contoh telisik kearifan lokal Bugis Makassar yang menjelma dalam bentuk paseng (pesan-pesan kehidupan)
Engka sewua wettu
Napole ssarak marajae
Muttamakiki’ ri alek-e’
Naposek-sopeklkik macang
Nno’ki ri salo’e
Na emme’ki buaja
Naiya salamak
Massobbue di padang tajang nge’
Makkatenni ri cinaguria
Ada suatu masa
Akan terjadi prahara besar
Kita masuk hutan
Dicabik-cabik macan
Kita turun ke sungai
Ditelan buaya
Yang selamat hanyalah
Yang bersembunyi di padang terang
Berpegang pada cinaguri
Itu adalah Paseng tentang Ramalan Keadaan, (Ibrahim, 2009).Paseng lain mengenai perilaku Manusia
Engka Seua Wettu narirapik
Pole’ri timunna taue messuk
Ada-ada alusuk na patuju
Takkajennek maneng tauwe,
Nakkacoek
Naiekiya barangkauk
Pangkaukenna pappada ulak’e
Macang nge, na lebbipa koritu
Sabak nanre muisainanna,
Amma;na, silessurenna, anakna
Elok cinna na naturusi, napopuang
Lisusikik sianre bale
Akan terjadi suatu waktu dan ditemukan
Dari mulut manusia terucap
Kata-kata halus dan berguna
Orang-orang pada terlena
Dan menjadi pengikut
Tetapi perbuatan dan perilakunya bagaikan ular
Atau macan, bahakan lebih dari itu
Sebab ia akan memangsa ayah, ibu saydara dan anaknya sendiri
nafsu dan kepentinganlah yang dipertaruhkan kita akan kembali saling memangsa bagai ikan