Dalam telaah wacana kritis, perempuan dan media dipandang sebagai sesuatu yang tidak pernah akur. Bahasa perempuan sebagaimana yang ditulis dalam buku Anang Susanto (Bahasa Perempuan, Sebuah Potret Ideologi Perjuangan,2011) adalah sebuah representasi model pandangan hidup dan perjuangan symbol wacana subordinatif di tengah pertarungan hegemonik yang mencengkeram dan seolah “memang harusnya demikian” sehingga masyarakat awam terbawa dalam dominasi tanpa sikap. Ini pula yang mendasari Turner memberikan definisi bahwa media adalah agen dan tempat pertarungan wacana dan ideology berlangsung.
Begitupun hari ini, ketika informasi dan teknologi telah memapar habis ruang sosial berkemanusiaan. Dunia yang tak terbatas dimana manusia menjadi pelaku dan pengomsumsi sekaligus. Media menjadi produsen dan salah satunya perempuan menjadi bahan baku atau komoditas siap olah dengan simbolisasi yang indah, gegap gempita dan lagi-lagi kita menjadi gagap kalap tergiring disapu dalam arus. Jadilah yang disebut oleh Baudrillard bahwa media (iklan) adalah bentuk dari sign system yang mengatur makna/objek sebagai perangkat ideologis dari kapitalisme konsumen.
2004, ratusan orang tewas dan puluhan bangunan hancur di Nigeria akibat pemberitaan media yang tidak peka dan justru memperbesar skala konflik. Kasusnya adalah, bahwa mayoritas warga Nigeria telah menolak penyelenggaraan Miss World, karena kegiatannya adalah parade perempuan-perempuan cantik yang hanya menggunakan pakaian renang. Pemerintah sendiri setuju karena kegiatan ini mendorong industri pariwisata Nigeria. Akan tetapi, ada seseorang yang menulis di media massa Amerika Serikat yang isinya mengkritik protes mayoritas umat Islam tersebut. Di dalam artikel tertulis, “Seandainya Muhammad masih hidup, mungkin dia memilih salah satu atau beberapa kontestan untuk dijadikan istrinya”. Tentu saja umat Islam kaget dan tersinggung oleh tulisan tersebut. Konflik tidak dapat dielakkan lagi. Sepuluh tahun sebelumnya kota Los Angeles, Amerika Serikat dibumi hanguskan oleh penduduk kulit hitam. Salah satu pemicunya adalah kekerasan yang dilakukan oleh polisi LA terhadap seorang warga kulit hitam yang bernama Rodney King. Stasiun TV tentu tak ingin kehilangan momentum. Adegan kekerasan ditayangkan seminggu berturut-turut dan akhirnya menyulut kerusuhan besar di kota itu.
Hal yang serupa juga terjadi di dunia perfilman. Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak 2012 merilis bahwa televisi menjadi penyumbang terbesar yang menimbulkan perilaku kekerasan yang dilakukan anak-anak. Tak perlu heran, tengoklah kualitas sinetron hari ini yang begitu hedon, naïf, dan kasar yang seolah-olah hampa jika tanpa ekspresi mengurut wajah, teriakan membentak, dan ekploitasi derita yang malah tidak lagi melahirkan empati. Disitulah dunia media dimana merupakan dunia dengan banyak “dunia”. Setidaknya, ada tiga yang bisa kita ketahui yaitu dunia riil, dunia fiksi dan dunia virtual. Tak terhitung kekerasan simbolik yang lahir dari iklan-iklan dan tayangan, manusia tidak lagi mengomsumsi produk material yang kongkret tetapi juga mengomsumsi tanda. Ciri estetik kekerasan menjadi nyata ketika orang terpikat pada suatu bentuk tayangan media dan ia membiarkan secara sukarela dirinya menjadi pengikut setia suatu produk tanpa berpikir jauh. Kekerasan bergerak teramat halus dan media massa yang keras berubah menjadi ‘seni” memanipulasi orang. Image – image simbolik yang diproduksi iklan seperti kebahagiaan, keharmonisan, kecantikan, kejantanan, gaya hidup modern pada dasarnya merupakan system nilai yang dimiliki kelas atau kelompok dominan yang ditanamkan dalam kelompok.
Perjuangan Mengisi yang Tersapu
Perempuan terbunuh berulangkali, lebih dari 50% programming televisi didesain khusus bagi perempuan. Televisi sering disebut sebagai guru kedua dan ibu kedua dan kenyataan lain sebagaimana telah kita akui bahwa produk produk TV didominasi perempuan baik dari segmentasi penonton, pembeli potensial, pengguna konsumtif, objek tayangan periklanan yang penuh daya tarik yang secara ideologis bercita rasa rendah. Pasar terlanjur menelanjangi tubuh perempuan sebagai sebuah varian komoditi yang menjual meski di luar sana tidak sedikit para perempuan itu sendiri telah meneguk kepuasan level terendah seputar makan, minum, hingga level aktualisasi diri berkat konstruk media melalui TV, iklan, koran, majalah, dsb.
Persoalannya, apakah akan kita biarkan kondisi ini berjalan tanpa adanya sebuah control dan garis batas yang tegas. Dominan perempuan sendiri terseret dalam pembenaran penguasa media massa untuk kepentingan produksi dan komsumsi dibanding pada control moral dan social yang dianggap retorika semu. Lihatlah!, kata Willard dalam bukunya Beyond Success And A Failure: perempuan menggunakan produk melekat pada perumpamaan “apa yang monyet lihat, itu pula yang monyet lakukan”! Willard menyebutnya: “… a persisting childishness of monkey see monkey do”. Buntut-buntutnya pada budaya “pamer” yang menimbulkan peniruan. Siapa yang bertanggung jawab atas langkanya proses “pencerahan” yang sampai pada masyarakat?
Tanpa sikap, kita akan menjadi saksi bisu dari segerombolan perempuan ‘cantik’ yang setengah hati TV mem-blur bagian dadanya, tanpa sadar bahwa di sebagian besar kepala pemirsa dia telah dan terus ditelanjangi tanpa ampun. Tak ubahnya monyet-monyet tadi yang dielu-elukan semakin tinggi panjatannya malah semakin kentara belang pantatnya. Ahh… Seandainya memaksimalkan hidup bagi perempuan artinya berjuang bersama-sama perempuan-perempuan sedunia untuk melawan konsumerisme global sebagai konsekuensi pengetahuan dan tauhid maka kemenangan perempuan di layar kaca tidak sekedar produk dari kemenangan “keindahan dunia tubuh”! melainkan kemenangan dunia perempuan, dunia ibu; kemenangan ‘kecantikan hati dan otak” dengan spirit yang berpihak kepada kaum perempuan yang terpinggirkan di mana-mana! Itu adalah tindak lanjut dari sebuah pandangan hidup, sehingga pemirsa di seluruh dunia, terutama bagi perempuan-perempuan yang tengah terengah-engah memperjuangkan kesetaraan gender pun bisa memiliki bekal bathin tidak sekedar menawarkan solusi Matikan TV! Lalu tidur.
Perempuan, mereka bukan sekedar wahana reproduksi untuk melahirkan. Mereka tiang tengah rumah sekaligus mereka dilahirkan untuk membuat kehidupan bernilai. Jika begitu, demi kemanusiaan lelaki cerdas pun akan setuju turut berjuang.
(untuk Komunitas Kultur Annisa, 6 Februari 2013-Makassar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H