Mohon tunggu...
Tea Junior
Tea Junior Mohon Tunggu... -

pasca sarjana UGM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Voyeurism, Etika dan Seksualitas

27 Desember 2011   11:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:41 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Spectacle Society atau yang akrab dengan masyarakat yang nyaman menonton dalam perkembangannya telah melahirkan masyarakat Voyeurism. Voyeurism atau Schopophilia dulunya merupakan kajian psikologis yang berarti penyimpangan seksual karna kegemarannya mengintip. Untuk kebanyakan orang mungkin mengintip tidak memiliki sensasi apapun, tapi bagi pengidap Voyeurism ini ada kenikmatan sendiri saat ia melakukan pengintipan. Hal ini menjadi masalah ketika cara mengintip sendiri kian hari kian terstruktur, apalagi dengan adanya teknologi.

Esensi orang mengintip mungkin sama, yakni mencari kenikamatan atau bahkan kepuasan. Hanya saja kian hari imajinasi manusia kian rumit. Sebelum agama masuk, masalah seksual mungkin tak serumit ini, tapi dengan masuknya agama, manusia diberi batasan tentang tentang baik-buruk bahkan dalam hal persenggamaan. Tak mau kalah dengan agama, unsur politik dan bahkan isu kesehatanpun masuk mencampuri dan membatasi seksualitas.

Dengan maraknya film porno yang kian hari kian mempunyai keberagaman yang luar biasa pesat pertumbuhannya. Ada batasan yang kian kabur antara wilayah privasi dan public, antara wilayah sakral dan budaya permisif. Yang patut dipertanyakan adalah pada era yang kian hari kian terbuka, masihkah manusia memerlukan etika? Apa batasan dalam konsep etis? Untuk siapa etika dibuat ketika orang justru nyaman dengan segala macam keterbukaan? Kenapa kian hari manusia kian terbuka?

Dulu lirik yang berbicara tentang ciuman disensor, sekarang orang ingin membuat lagu dengan lirik vulgarpun tak jadi soal. Dengan perkembangan seperti ini mungkin menkominfo tak perlu repot-repot melakukan pemblokiran situs ini itu, bagaimanapun pornografi tak akan pernah bisa mati. Jalan lurus mungkin sudah dipotong, tapi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kreatif, ada banyak jalan menuju ke situs-situs tersebut, dengan sedikit membelok saja situs tersebut sudah dapat diakses lagi. Memberantas pornografi bak memberantas tempat prostitusi tapi kebaradaan pelacur tetap ada dimana-mana. Jadi, biarlah seksualitas menjadi konsumsi pribadi, asal tidak merugikan dan mengganggu orang lain mungkin tak perlu diobok-obok kebaradaannya. Lagipula maraknya budaya seperti ini adalah karena tingginya permintaan. Jika memang benar-benar buruk pastilah tak ada permintaan, dan keberadaannya sudah mati dari dulu.

Tak berhenti sampai disana, di zaman yang permisif seperti sekarang ada pergeseran wacana seksualitas. Dulu perempuan mengungkapkan cinta sebagai hal yang tabu, tapi sekarang atas nama emansipasi rasanya tak menjadi soal jika seorang perempuan mengungkapkan cintanya, misalnya saja dalam iklan sebuah minuman, dimana perempuan dengan malu-malu mengungkapkan rasa sukanya pada laki-laki. Disinilah pergereseran nilai mulai muncul, dulu mengungkapkan cinta oleh perempuan adalah tabu, tapi sekarang mau perempaun atau mau laki-laki dulu yang menyatakan cinta rasanya sah-sah saja.

Ada yang menarik memang, ketika tabu mempuyai pergeseran makna yang kian bergeser, sekali lagi pertanyaannya adalah masihkan etika diperlukan? Atau dengan lirik lagu Kungpow Chicken yang berjudul "Tidurlah Denganku" (bahkan dari liriknya saja pun sudah "menantang" pun tak terkena lembaga sensor), ada paradigma baru yang coba ditawarkan disana "ketika soal keperjakaan dipertanyakan". Selama ini budaya mengkonstruksi virginitas menjadi masalah yang masih penting dan tabu, tapi perjaka atau tidak seorang laki-laki rasanya tak jadi masalah.

Kembali pada budaya Voyeurism, maraknya infotainment dan paparazy adalah beberapa contoh budaya mengintip (Voyeurism) di media. Jadi apakah anda termasuk pengidap Voyeurism? Apakah anda senang mengintip? Naluriah mungkin, yang jadi masalah adalah karena mengikuti permintaan pasar naluripun diperdagangkan! Inilah yang oleh Yasraf Amir Piliang dinamakan dengan "politik ekonomi libido". Konsekuensi paling menonjol yang menyertai perkembangan politik ekonomi libido, adalah hadirnya sistem ekonomi yang dikuasai oleh semacam ideologi "libidonomics", dengan orientasi utama berupa pendistribusian rangsangan, rayuan, godaan, kesenangan, kegairahan, hasrat atau hawa nafsu tanpa batas dalam satu arena pertukaran ekonomi di masyarakat.

Ketika ekonomi, media dan budaya mempunyai hasrat yang baru, ketika itulah batas tabu menjadi sangat kabur. Sudah saatnya mengkonstruksi ulang makna tabu, saatnya mengkonsruksi ulang batasan nilai yang melanggar etika. Hanya saja yang selalu diingat adalah pesan dari segala yang ditampilkan oleh media tak pernah bebas nilai. Selalu ada muatan yang ingin disampaikan, selalu ada kepentingan disana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun