Anak saya itu biasa bangun pukul tiga pagi. “Ayah.., ayah…,” begitu celotehnya yang membuatku terbangun yang disambut dengan wajah menggemaskan Like. Ia baru berusia 1 tahun 4 bulan.Like bangun minta ditemani bermain.
Rutin saya setiap pagi dan sore membersamai anak. Pagi hari dimulai dari sebelum subuh, selepas subuh, sampai sekitar pukul setengah tujuh sebelum saya berangkat mengajar. Selepas shalat, biasanya ia menemani ayahnya cuci piring. Ya, menggendong sambil mencuci piring. Bisa? Bisa! Repot? Nggak juga. Buktinya saya bisa menjalankan dua pekerjaan dua-duanya. Menggendong sekaligus cuci piring. Kebetulan anak saya paling suka cuci tangan, jadi begitu ada kran mengalir girangnya luar biasa. Maunya cuci tangan terus.
Apa yang saya kerjakan selalu ikut bantu. Saat mau menanak nasi. Saya berikankesempatan tangannya ikut mencuci beras, sebelum saya ukur sampai satu garis jari telunjuk paling ujung. Saat memasukkan ke dalam rice cooker, pun saya memersilahkan anak saya untuk memencet tombol “cook.” Itulah aktivitas paling membahagiakan membersamai Like di pagi hari.
Sore harinya, saya menyempatkan waktu sepulang sekolah untuk jalan-jalan dengan putri tercinta saya Like. Pernah saat jalan-jalan pagi sambil gendong Like, seorang ibu terheran-heran melihat saya.
“Njenengan kok lemes nemen sih ngemban anak?”
“Apa harus ibu-ibu saja yang harus lemes nggendong anak-anak? Alhamdulilah saya sudah terbiasa melakukan ini, jadi nggak kaku lagi,” jawab saya.
“Jarang-jarang lho ada laki-laki bisa nggendong anak.”
“Ah, massa?” Ibu-ibu itu mengiyakan.
Jika memang demikian adanya, ehm!, berarti saya masuk kategori ayah yang langka. Bisa menggendong anak tanpa rasa kaku sedikitpun. Pinter momong, istilahnya. Tahukah anda? Dengan menggendong anak, kesempatanuntuk memeluk lebih banyak.
Cahyadi Takariawan dalam bukunya Wonderful Family menyebutkan sebuah studi psikologi bahwa pelukan dapat berefek pada tiga hal. Bisa bikin tetap hidup, sehat, dan awet muda. Konon, dalam studi itu disebutkan setiap orang memerlukan empat kali pelukan setiap hari untuk tetap hidup. Memerlukan delapan kali pelukan untuk sehat, dan duabelas kali pelukan setiap hari untuk awet mudah dan bahagia.
Ini terjadi karena saat berpelukan, saat anak berada dalam dekapan kita, tubuh melepaskan hormon oxytocin yang berkaitan dengan rasa damai dan cinta. Hormon ini membuat jantung dan pikiran menjadi tenang dan sehat.
Menggendong atau momong anak, kelihatannya simpel. Tadi jika tidak biasa, maka akan menjadi masalah besar. Seperti yang pernah saya lihat betapa repotnya, bahkan ini adalah ibu-ibu, kelihatan repok banget mau gendong anaknya. Selendangnya nggak terikat-terikat di belakang. Sudah begitu, kedua kaki anaknya di depan perut semua lagi, padahal anaknya sudah setahun lebih. Pantas saja, anaknya berontak.
Yang jelas, bagaimana mengalihkan perhatian ketika anak menangis, bagaimana memahami keinginan anak, mencermati kemauan anak, dan lain sebagainya merupakan skill yang terus menerus harus dilatih.
Ini juga efek dari kedekatan yang terjalin antara saya dan anak. Ada ikatan emosional yang sudahterjalin di sana. Tidak hanya pertalian darah semata, yang jadi faktor kedekatan antara saya dan Like. Meski, Like masih berusia satu tahun, saya sering mengajaknya bicara. Bahkan ketika masih bayi sekalipun, saya sering membacakan sebuah kisah-kisah dari buku bacaan anak. Saya yakin, apa yang saya ceritakan tidak sia-sia. Boleh jadi anak saya tak paham dengan apa yang saya ceritakan. Tapi dari perangainya, dari kelembutan dan cerah parasnya, saya yakin ia tahu apa yang ia mau. Merasa nyaman sekaligus aman dekat ayahnya yangtampan. Hehe…
Efek dari seringnya bercerita kemampuan bicaranya yang menanjak luar biasa. Bisa dibilang cukuptalkative. Suka bicara. Suka cerita apa saja. Padahal kosakata yang sudah hafal baru sebatas, umi, maem, mimi, awah (untuk menyebut ayah), mama, sanah, uwe, meong (ketika melihat kucing), dan ba…(dari kata cilukba!) Itu belum termasuk kata-kata seperti yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia juga suka bersenandung. Ketika saya menyanyikan sebuah lagu, ia mengikuti dengan bahasanya yang terdengar menggemaskan!
Saking seringnya saya menggendong Like, sampai-sampai ketika mau pergi uminya kerepotan. Pasalnya Like lebih memilih sama ayahnya dibandingkan sama uminya. Ketika diminta memilih, ia lebih memilih diemban ayahnya. Bahkan ketika mau pergi jalan-jalan naik sepeda motor, Like tetap memilih ayahnya untuk menggendongnya. Berkali-kali ibunya membujuk, tapi Like tak mau lepas dalam pelukan ayahnya.
Akhirnya saya katakan pada istri, “Sudah, biarkan saja Like sama ayah. Umi yang bawa motor, nanti ayah yang bonceng sambil gendong dede,” begitu kataku.
“Tapi yah?”
“Sudah, jalan saja. Nggak usah pedulikan apa kata orang. Hitung-hitung sarana hiburan orang. Kan belum ada dalam sejarah, ibunya bawa motor, ayahnya bonceng sambil bawa anak?” ucapku meyakinkan sekaligus menghibur diri. Sungguh, sekalipun saya tak pernah merasa malu dibonceng sama istri. Saya justru merasa ini sebaga prestasi yang layak disyukuri, karena tak semua ayah bisa menggendong anaknya dengan baik.
“Oke. Baiklah. Mari kita buat sejarah baru!”
Jika anda sebagai ayah, berani melakukan tantangan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H