Mohon tunggu...
Ali Irfan
Ali Irfan Mohon Tunggu... -

Teacher, writer, trainer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dicari, Gurunya Manusia!

25 November 2014   17:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:54 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hasil survey pribadi selama 5 (lima) tahun sebagai guru, hasilnya sangat tidak mengejutkan. Yang menjadi objek survey adalah mengenai kualitas obrolan para guru. Survey menghasilkan rata-rata kualitas obrolan para guru masih berkisar pada masalah gaji, tunjangan, dan pengangkatan sebagai pegawai negeri yang masih honorer.

Bagi guru honorer materi obrolan lebih banyak mengeluhkan pendapatan yang dinilai horor, tak memiliki passion dalam pekerjaannya sebagai guru. Sementara bagi guru PNS kualitas obrolan mereka tak jauh-jauh dari seputar tunjangan sertifikasi. Amat jarang para guru membicarakan terobosan-terobosan pembelajaran, menemukan inovasi pembelajaran kreatif.Kalaupun memang ada, jumlahnya masih kalah banyak dengan yang tidak memiliki inovasi. Mungkin banyak yang menyangsikan hasil survey ini. Namun faktanya memang demikian.

Tulisan ini tidak untuk menghakimi profesi guru, tapi lebih kepada sebuah ajakan, membuka diri, bahwa terlalu sayang jika kemuliaan profesi guru hanya sebatas dinilai dari perhitungan materi semata. Lewat tulisan ini pula, penulis mengajak para guru untuk terus menerus berusaha meningkatkan semangat kerjanya, menjadikan guru sebagai passion, sebagai pilihan hidup, dan bukan sebagai sandaran hidup.

Saya sepakat dengan Abdullah Munir (2010) dalam Spiritual Teaching yang mengatakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan, langkah awal yang ditempuh adalah memperkuat kepribadian guru, agar senantiasa mencintai profesinya danmenegakkan sikap cinta, kasih, sayang kepada anak didiknya.Hal ini penting dalam proses belajar mengajar.

Sebuah hikmah mengatakan Atthoriqotu ahammu minal maaddati, wal ustaadzu ahammu minatthoriiqoh wa ruuhul ustaadzi ahammu min kulli syai’in. Metode lebih penting daripada materi. Guru lebih penting daripada metode, dan semangat gurulah yang terpenting dari semua itu.”

Seorang guru yang mengajar karena panggilan jiwa serta memiliki visi untuk mengantarkan anak didiknya kepada kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial, akan bisa melahirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan, dalam hati setiap muridnya, bahkan sesudah ia mati. Sementara guru yang mengajar dengan mental seorang pendakwah sekaligus pengasuh – bukan dengan mental tukang teriak untuk mendapat upah bulanan bernama gaji – akan mampu menyediakan cadangan energi, agartetap lembut menghadapi murid yang membuat kening berkerut, demikian papar Mohammad Fauzil Adhim dalam pengantar Spiritual Teaching-nya Abdullah Munir.

Bagi calon guru, pantaskan diri lebih dahulu sebelum memutuskan untuk terjun sebagai guru. Jadikan seorang guru yang punya visi, sekaligus misi untuk mengukir peradaban. Jangan jadikan guru sebagai profesi terakhir karena tak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Siapkan diri anda menjadi expert di bidang yang anda sukai dengan terus menerus mengasah skill mengajar anda. Tak perlu minder dengan para guru-guru senior. Tanamkan benar-benar dalam hati anda bahwa ukuran senioritas guru itu tidak dilihat dari lamanya bekerja sebagai guru, melainkan dari karya apa yang sudah guru tersebut miliki.

Mengenai ini saya teringat kata-kata Taufik Ismail saat memberikan motivasi kepada para wartawan, bahwa ukuran senioritas wartawan itu bukan dilihat dari lama tidaknya seseorang menjadi wartawan, melainkan dari berapa banyak buku yang sudah ditulis oleh wartawan. Namun jika ada wartawan yang sudah puluhan tahun liputan, namun tapi tak punya buku, itu namnaya wartawan tua.

Tak ada salahnya jika kita menganalogikan senioritas guru ini dengan apa yang dipaparkan Taufik Ismail. Jika ada seorang guru yang sudah bertahun-tahun mengajar, namun tak memiliki karya apapun, itu bukan guru senior namanya, melainkan guru tua. Karya ini bisa apa saja, bisa gagasan, temuan, atau inovasi pembelajaran yang sesuai dengan latar belakang profesi guru. Syukur-syukur jika bisa dituliskan menjadi sebuah buku.

Bagi yang saat ini menjadi guru, perkuat kembali visi dan misi anda, bahwa di tangan para guru saat inilah yang masa depan anak-anak ini tengah digenggam. Percayalah bonus, tunjangan, sertifikasi itu sebenarnya bukan tujuan utama, melainkan bonus atas kerja-kerja kita yang sebenarnya. Perbaiki kualitas obrolan dengan sesama guru. Sudah bukan masanya guru masa kini larut dalam hiruk pikuk tunjangan dan sertifikasi. Inilah saatnya guru berkompetisi di bidang inovasi.

Oya, sampai terlupa, selamat hari guru!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun