Di antara deru angin senja,
kulihat bayang yang perlahan memudar,
meninggalkan jejak yang tak tergapai tangan,
namun abadi dalam ruang hatiku yang rapuh.
Ayah, engkau adalah pohon tua di tengah padang,
tegak menantang badai,
melindungi dengan rimbun dedaunan,
namun kini daun-daun itu berguguran,
satu demi satu, menghilang dibawa angin.
Suaramu, bagai gema di lembah sunyi,
dulu lantang membimbing langkahku,
kini menjadi hening,
sekedar kenangan yang mengendap dalam sunyiku.
Tak ada lagi tanganmu yang hangat,
membimbingku melewati jalan hidup yang berliku,
tanpa kata, aku harus berjalan sendiri,
menyusuri lorong gelap yang tak pernah kau tunjukkan arahnya.
Engkau adalah matahari pagi yang terbit dalam jiwaku,
kini senja tiba terlalu cepat,
dan aku, tersesat dalam malam yang tak berujung,
mencari setitik sinar yang pernah kau titipkan.
Namun, dalam setiap luka,
aku menemukan kekuatan yang tak pernah kutahu,
bahwa meski kau tak disampingku,
akar yang kau tanam dalam hati ini,
akan selalu menumbuhkan harapan,
menjadi api kecil yang tak akan padam,
di tengah gulita dunia.
Ayah, meski langkahmu tak lagi terdengar,
keberadaanmu tetap hidup dalam setiap degup nadiku,
menyusuri setiap inci perjalanan ini,
aku akan tetap berjalan, meski bayangmu telah hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H