Mohon tunggu...
T Cilik Pamungkas
T Cilik Pamungkas Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta budaya

Menyukai seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alam Dalam Budaya Jawa Bali - Beyond Environment Ethics

3 Januari 2025   21:43 Diperbarui: 3 Januari 2025   21:43 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malekat Lindu: Sang Penjaga Bumi (Koleksi Museum Sonobudoyo)

Bagaimana jika kita diharuskan mengalih fungsikan hutan? Secara ekologis, dampak yang ditimbulkan jelas terasa pada perubahan habitat, terganggunya kualitas udara, air, dan hilangnya fungsi penyangga bencana yang selama ini menjadi penyeimbang alam. Sudah mendapatkan izin kok! Yakin, sudah diizinkan? Mari kita bahas Maha Izin lewat kacamata Budaya Jawa Bali.

"Mececingak" - PreMaha Izin
Di Bali, saya belajar tentang Mececingak. Secara etimologis, istilah mececingak berasal dari akar kata "cecingak", yang berarti "mengamati" atau "memperhatikan dengan seksama". Namun, makna mececingak tidak sebatas sekadar pengamatan fisik atau empiris; ia merujuk pada suatu bentuk pengamatan yang menghubungkan intuisi manusia dengan alam dan dimensi spiritual. Oleh karena itu, meskipun zona yang akan digunakan telah memperoleh izin, serta memenuhi persyaratan lingkungan dll, proses mececingak tetap diperlukan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa keputusan mengenai perubahan fungsi lahan tidak hanya menguntungkan secara materi, tetapi juga selaras dengan keseimbangan ekologis, sosial, dan spiritual yang lebih luas, sehingga dapat mempertahankan integritas dan harmoni dalam tatanan alam semesta.

Dalam pandangan Jawa dan Bali kuno, alam bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki oleh manusia, melainkan bagian integral dari tatanan kosmik yang harus dijaga kelestariannya. Ajaran-ajaran ini kaya akan nilai-nilai yang menekankan keharmonisan antara manusia dan alam, yang tercermin dalam setiap filosofi, tradisi, dan praktik keseharian. Alam, dalam pandangan mereka, bukan sekadar objek fisik yang dapat dikuasai, tetapi entitas yang hidup dan berbicara dengan bahasanya sendiri.

Tri Hita Karana -- Tiga Penyebab Kebahagiaan
Prinsip ini mengajarkan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan). Dalam ajaran ini, hubungan yang baik dengan alam dianggap sebagai kunci utama kebahagiaan sejati. Masyarakat Bali menghormati sumber daya alam -- air, tanah, dan hutan -- sebagai bagian dari ciptaan Ilahi, yang tak boleh sembarangan diperlakukan.

Hamemayu Hayuning Bawana
Tugas manusia adalah menjaga keindahan dan keharmonisan dunia. Ajaran ini menuntut kita untuk bertindak sebagai penjaga, bukan perusak terhadap lingkungan sekitar kita. Setiap langkah yang kita ambil harus selaras dengan alam, agar keseimbangan kosmik tetap terjaga. Alam adalah tempat kita berpijak, tempat kita bernaung, dan oleh karena itu, kita pun memiliki kewajiban untuk menjaganya.

Kedua ajaran ini adalah sekadar dua butir permata, dan masih banyak lagi lontar-lontar dan naskah kuno yang menuliskan kebijaksanaan -- Beyond Environment Ethics.


Bahasa Alam: Sebab - Akibat
Dalam kosmologi Jawa dan Bali, alam tidak hanya dipahami sebagai objek fisik belaka, melainkan sebagai entitas yang hidup, memiliki bahasa, serta pesan yang mesti dipahami. Kepercayaan bahwa "alam akan menghukum orang-orang yang merusaknya" bukan sekadar mitos yang mengitari cerita rakyat, melainkan merupakan filosofi mendalam yang menanamkan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan. Alam, dalam tradisi ini, dianggap sebagai guru yang memberikan peringatan melalui tanda-tanda yang tersembunyi, dan sebagai penegak keadilan yang datang ketika manusia melampaui batas.

Cerita tentang:
Bukit yang dipangkas berubah fungsi -- akhirnya wabah datang, tempat itu "mangkrak" dan tertimbun kembali oleh tanah, bukit itu kembali menjadi bukit, seolah alam mengingatkan siapa yang berkuasa.

Seorang kakek, yang menggunakan kuasa untuk merusak tanpa kendali, akhirnya dihukum dengan membuka semua tiran yang selama ini ditutup rapat. Disaksikan oleh seluruh umat manusia, masa yang seharusnya dinikmati dengan anak cucu berubah menjadi derita. Hari demi hari, cobaan itu datang tak berhenti.

Orang-orang yang dititipi tugas untuk menjaga dan melindungi, meninggalkan jejak mereka dalam cap tangan persetujuan yang dicetak di atas para perusak. Tak lama kemudian, semua pemilik cap tangan itu meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan, seolah alam mengingatkan, menagih janji sebuah amanah.

Dengan bahasa ini, kita diajak untuk tidak hanya berpikir tentang apa yang kita ambil dari alam, tetapi juga tentang apa yang kita beri. Setiap perubahan yang kita lakukan pada dunia ini, setiap langkah yang kita ambil, akan membentuk cerita kita sendiri. Sebab, dalam pandangan Jawa dan Bali kuno, alam tidak pernah lupa akan apa yang manusia lalukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun