(Sumber gambar :Â https://twitter.com/komunalstensil)
Bhayangkara yang berarti garang dan hebat dalam Bahasa Sansekerta, juga merupakan nama dari pasukan elit kerajaan Majapahit yang mahsyur kala itu. Pemerintah Indonesia pun membesut nilai-nilai luhur para ksatria bhayangkara kepada Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Harapannya dapat "benar-benar" mengayomi dan melindungi masyarakat, ya, masyarakat yang membayar gaji mereka melalui pajak yang masyarakat tunaikan.
Pada tahun 2015 ini, POLRI akan memperoleh anggaran hingga Rp. 51,6 triliun, sangat menakjubkan!. Bandingkan dengan anggaran Kementerian Pertahanan RI yang membawahi TNI AD, TNI AU dan TNI AL, mereka bertiga hanya mendapatkan Rp 96,9 triliun. Perlu diketahui, hingga hari ini posisi POLRI masih langsung berada dibawah Presiden RI. Melalui Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU KAMNAS) yang masih terus dibahas sejak 2006, POLRI akan digeser kebawah Kementerian Pertahanan sejajar dengan 3 matra angkatan bersenjata lainnya.
Dengan posisi POLRI yang langsung dibawah kendali Presiden RI melalui Kapolri, Presiden RI "bebas" menggerakkan POLRI sesuai keinginannya, bahkan jika yang mulia presiden berkehendak, saya bisa langsung ditangkap karena tulisan ini. Maklum saja, kegamangan akan kebenaran sudah semakin kabur saat Jaksa Sarpin "membatalkan status tersangka" calon Kapolri Budi Gunawan. Ya, sejarah akan mencatat, pertama kalinya gugatan status Tersangka Korupsi bisa dibatalkan di jaman Presiden prematur, Presiden yang pikirannya kurang panjang tentang akibat-akibat yang mungkin terjadi atas keputusannya "menunda" melantik Tersangka Korupsi. Walau bagaimana pun, beliau tetap presiden kita, Presiden Prematur yang dilahirkan kekuatan media.
Mungkin tahun 2013 adalah tahun terakhir kalinya kita melihat "Jendral POLRI aktif" menjadi tersangka dan masuk bui oleh KPK. Ialah ia Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang diberantas karirnya karena kasus pengadaan Simulator SIM. Namun kini nasib pemberantasnya sudah "dimatikan" oleh POLRI, ya si pemberani Abraham Samad.
Tidak berhenti pada penetapan tersangka atas kasus sepele untuk para pimpinan KPK, kini POLRI kembali menetapkan status tersangka kepada mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Deni Indrayana. Deni Indrayana adalah penggiat anti korupsi yang berhasil masuk Istana di zaman pemerintahan SBY, dan kini harus menjadi tersangka kasus Payment Gateway, sesaat saja setelah ia kencang bersuara sana sini membela KPK. POLRI memang ajaib.
POLRI boleh menggunakan wewenang menegakkan Hukum atas tendensinya sendiri, tapi sebagai makhluk yang berketuhanan, harusnya mereka takut dan hati-hati di hari penegakan Hukum Tuhan yang sebenarnya nanti.
POLRI juga harus ingat, kolaborasi pemberantasan korupsi yang dinamis dan sangat baik yang memakan waktu panjang dalam era reformasi harus mengalami banyak kemunduruan signifikan hanya karena mereka membela segelintir orang dalam. Sejarah tidak pernah berhenti mencatat untuk anak cucu kita baca, betapa buruknya POLRI saat ini.
POLRI juga perlu kiranya menelaah kembali perkataan Pendiri Bangsa yang begitu mengenal bangsanya ini, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, Perjuanganmu akan lebih sulit karena kamu melawan bangsamu sendiri". Ya perjuangan yang bukan main sulit untuk melawan "Oknum POLRI" oleh POLRI sendiri.
Semua yang terjadi akhir-akhir ini semakin lengkap jika kita ingat tentang siapa "The Ruling Party" di Republik Indonesia hingga 5 tahun kedepan. Ya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang didaulat sebagai partai terkorup oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Ya, partai "demokrasi" yang dipimpin selama 22 tahun oleh orang yang sama, dan baru akan menyelesaikan jabatannya pada 2020 atau setelah 27 tahun menjadi Ratu di Kerajaan PDIP. Hal ini semakin ironi dikala Presiden RI hanya sebatas petugas partai yang tidak dilahirkan dari gelapnya rahim politik.
Sebelum menutup tulisan saya, saya ingin menyampaikan kekhawatiran yang jauh lebih besar untuk para Generasi Muda Indonesia. Kapolri kita saat ini adalah generasi yang lahir pada tahun 1958 (berumur 56 tahun), dimana saat mereka masuk dan dibesarkan di tubuh POLRI, belum sekorup saat ini. Apa yang ingin saya sampaikan adalah, tidak terbayang zaman generasi kita memimpin nanti, dimana bukan rahasia lagi generasi kita banyak yang masuk Akademi Kepolisian (AKPOL) harus "menyogok" sejak beberapa tahun lalu. Zaman kita akan lebih sulit, dimana teroris semakin pintar, penjahat semakin canggih, dan disaat yang sama pahlawannya alias POLRI semakin korup. Semoga saja ini tidak terjadi.
Dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2015 yang sangat besar yaitu Rp 2.039 Triliun, ditambah ruang fiskal yang semakin besar karena penghapusan subsidi bbm, seharusnya Presiden Jokowi dapat berlari mudah. Bandingkan dengan pemerintahan awal SBY yang hanya memiliki APBN sebesar Rp 516,2 triliun pada 2005, hanya satu perempat saja dari APBN tahun ini, ditambah pula bencana tsunami di akhir 2004 yang menelan korban jiwa 220.000 orang. Saat itu uang tak ada, masalah pun begitu besar.