Mohon tunggu...
Tb Adhi
Tb Adhi Mohon Tunggu... Jurnalis - Pencinta Damai
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sich selbst zu lieben ist keine ritelkeit, sondern vernunft

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dialektika Politik Menuju Pilpres 2024 Makin Seru

7 Desember 2022   11:39 Diperbarui: 7 Desember 2022   11:45 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Subianro dan Anies Baswedan dalam sebuah acara Gerindra.(Foto: Kompas.com).

PERGERAKAN partai-partai politik makin dinamis dan seru. Lebih dari setahun menuju kontestasi akbar politik melalui Pilpres 2024 itu, tepatnya kurang dari 14 bulan lagi, baik partai yang berada di parlemen, di luar parlemen maupun partai baru, terus menggencarkan komunikasi untuk menuju koalisi. Dialektika politik dari konstitusi di Indonesia memungkinkan terjadinya penyatuan di antara partai-partai dengan tujuan besar mendapatkan calon terbaiknya untuk dipertarungkan.

Perjalanan menuju kontestasi memang masih lumayan panjang. Kendati begitu, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang sudah terbentuk, belum bisa tidur nyenyak karena banyaknya godaan yang mengganggu lelapnya mereka. Godaan datang dari internal dan eksternal.

KIB yang beranggotakan Golkar, PAN dan PPP memang masih solid dan terus menegaskan keinginannya untuk meningkatkan kekuatan. Namun, di sisi lain, KIB ditantang untuk tetap membuktikan kekompakannya menghadapi tekanan dari dalam.

Tantangan yang sama sebenarnya juga tengah dihadapi KIR. Koalisi dari Gerindra dan PKB ini bahkan disebut-sebut didera disharmonisasi karena tarik menarik yang terjadi level pimpinan. Gerindra tetap bersikeras memajukan Prabowo Subianto sebagai capres, dan belum memberi tempat untuk Muhaimin Iskandar. Sebaliknya, PKB sebagai mitra koalisi juga keukeuh menjagokan ketua umumnya sebagai cawapres.

Di tengah disharmonisasi itu, elit Gerindra mewacanakan bergabung dengan Koalisi Perubahan (KP) yang tengah dibangun oleh NasDem, Demokrat dan PKS. Sebenarnya tak sepenuhnya benar jika Gerindra ingin  bergabung dengan KP, tetapi Gerindra hendak rujuk dengan PKS, mitra koalisinya di 2019.

Persoalan jadi agak rumit karena PKS tetap membuka peluang untuk terbangunnya KP bersama Demokat dan NasDem. Walau tetap masih menjadi wacana, pembentukan KP belum sepenuhnya ambyar. PKS tampaknya silau juga dengan perkembangan signifikan dari kampanye Anies Baswedan yang diusung NasDem, yang dari hari ke hari disebut-sebut makin menggila.

Tidak mudah memperkirakan Gerindra bersedia bergabung dengan KP, mengingat elit Gerindra sudah mematok harga mati untuk menjadikan Prabowo Subianto sebagai capres. KP pastinya juga mati-matian untuk membela Anies, bukan memberikan tempat paling terhormat itu untuk Prabowo Subianto. Ketum Gerindra itu juga sudah pasti tidak akan bersedia dijadikan cawapres dari Anies.

Yang mungkin lebih bisa terjadi adalah PKS bergabung dengan Gerindra. Kondisi ini lebih memungkinkan Muhaimin Iskandar legowo. Pasalnya, bergabungnya PKS hanya untuk sekadar memperkuat koalisi, tidak dengan bargaining menjadikan kadernya sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Persoalannya tidak bisa lebih disederhanakan jika PKS juga ngotot menempatkan kadernya sebagai cawapres, katakanlah Ahmad Heryawan. Mantan gubernur Jabar dua periode itu sudah dimajukan sebagai pendamping Anies Baswedan di KP, namun Anies belum memberikan persetujuan, sebagaimana ia masih menolak lamaran Agus Harimurti Yudhoyono. Itu yang membuat Anies asik sendiri, bersosialisasi ke mana-mana.

Merujuk pada kengototan Gerindra untuk mengajukan ketua umumnya, Prabowo Subianto, sebagai capres itu yang membuat frasa Gerindra hendak bergabung dengan KP terpatahkan. Yang sebenarnya terjadi adalah, adanya komunikasi antara elit kedua partai, diwarnai keinginan untuk mengulang romantisme di Pilpres 2019 saat Gerindra bermesraan dengan PKS.

Jadi, lebih memungkinkan mana, Gerindra bergabung dengan PKS yang masih condong untuk membangun KP bersama NasDem dan Demokrat, atau sebaliknya, PKS yang memilih hengkang dan bergabung dengan Gerindra yang sudah mencapai presidental thresold (PT) 20% bersama PKB?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun