Sadar Selalu Terlambat
Oleh
Tazkir
Menelusuri jalan berliku di balik gunung selimut pagi yang masih berselimut kabut disertai hujan rintik membasahi tubuh dilapisi jaket parasut ibarat liku-liku kehidupan yang harus lalui setiap hari, Tz selaku guru bahasa Indonesia pukul 7.15 tiba di sebuah sekolah SMA, begitulah perjuangan setiap hari dilakukan Tz selaku guru demi keberhasilan siswanya. Pagi itu mengajar di Kelas X, yang biasanya gaduh, kini sepi bagaikan panggung tanpa pemain, menyisakan dua bangku kosong di pojok belakang. Kedua kursi itu menjadi saksi bisu atas kebiasaan Kir dan Taz yang kerap datang terlambat, seperti mentari yang malu-malu menampakkan sinarnya.
Kir dan Taz, dua insan yang selalu bersisian, tak terpisahkan bak matahari dan bayangan. Namun, kebiasaan mereka yang sering terlambat mulai menyerupai awan kelabu yang menghalangi sinar terang prestasi. Di antara guru-guru yang resah, Tz, guru Bahasa Indonesia, menjadi garda terdepan yang mencoba mengatasi masalah ini.
Tepat pukul 7.30 ketika bel tanda dimulainya pelajaran sudah menggema (jam pelajari sudah dimulai), langkah Kir dan Taz masih tersangkut di dunia maya, terjerat oleh keasyikan bermain game hingga larut malam. Saat mereka tiba, waktu seakan berhenti sejenak, dan mata Tz yang tajam menghujam, seolah mencoba menembus dinding-dinding alasan yang mereka bangun.
"Berapa kali lagi kalian akan terlambat?" tanya Tz, suaranya mengalun seperti angin yang membawa kabar buruk. Kir dan Taz hanya bisa menunduk, tak berdaya di hadapan kenyataan. Kata-kata Tz bagai dentang lonceng yang menyadarkan mereka dari lamunan. "Kami... terlalu asyik bermain game, Pak," jawab Taz, suaranya redup seperti cahaya lilin yang hampir padam.
Waktu berlalu, dan seiring berjalannya pelajaran, pikiran Tz melayang, menari-nari di antara harapan dan kekhawatiran. Ia tahu, di balik semua itu, Kir dan Taz adalah anak-anak yang cerdas, namun kebiasaan buruk mereka mulai merangkak, membelit prestasi mereka.
Ketika bel istirahat berbunyi, kelas kembali hening, hanya menyisakan Tz dan kedua muridnya. "Apakah kalian ingin kebiasaan ini menghancurkan impian kalian?" tanya Tz, suaranya bagaikan petir yang menggema di langit kelabu. Kir hanya bisa mengangguk pelan, sementara Taz mencoba mencari jawaban dalam hening.
Suara lembut, Tz menawarkan solusi, seperti pelaut yang menawarkan pelampung di tengah badai. "Belajarlah untuk mengatur waktu, agar hidup kalian seimbang seperti harmoni sebuah simfoni," kata Tz. Meski awalnya mereka ragu, Kir dan Taz akhirnya memutuskan untuk mencoba, seperti pelaut yang tak menyerah meski ombak terus menggulung.