“Mendingan kamu itu beli jadi aja deh yuh, terus dijual lagi.” Saran seorang teman pada saya suatu masa ketika saya mulai mengeluh pada rutinitas yang menguras tenaga. Ya tentang bisnis brownies dan tart yang pada tulisan saya sebelumnya. Saya memang menghasilkan uang ketika saya menjalankan bisnis saya ini, namun bukan itu tujuan utama saya. Ntahlah, saya menikmati proses ketika saya membuat adonan hingga menghias kue dengan krimnya. Saya juga menikmati ketika panas-panas atau larut malam mengantar pesanan kue tart untuk pelanggan, ketika mendapat “feedback” terimakasih dan ucapan kesenangan pelanggan atas kue yang saya dan teman-teman saya buat, sudah membuat saya senang. Rasanya rasa letih saya terbayar sudah.
Saya memang mahasiswa psikologi, namun dalam bisnis bukan berarti bebas dari psikolgi lo. Dari rutinitas saya ini saya belajar, tentang manajemen diri. Tidak semudah menghilangkan materi mata kuliah ketika sudah mengantuk dikelas untuk menerapkan konsep manajemen diri ini. Saya telah membuktikannya sendiri, saya coba mengimbangkan antara beberapa rutinitas agar tetap berjalan secara imbang namun tidak berantakan. Ya, saya kerepotan, luar biasa. Saya kuliah mulai setengah tujuh pagi dan berakhir maksimal jam dua siang, setelahnya saya harus mengajar privat untuk seorang anak yang belum bisa saya tinggalkan, hingga sebelum magrib kira-kira. Sepulangnya saya mengantar kue atau membuat kue terlebih dahulu jika teman-teman saya belum membuatnya, sekitar jam sebelas malam saya mulai kembali dengan materi kuliah saya. Bukan perkara mudah memang, namun ini pilihan saya. Apakah pilihansaya ini tidak berisiko? Bisa jadi, sosialisasi saya terhadap teman-teman kampus saya terancam. Ya, saya layaknya mahasiswa “kupu-kupu” alias kuliah pulang kuliah pulang. Seperti yang sudah saya jelaskan diatas alasannya.
Tubuh saya sekarang mengembang, dulu pas-pasan, saya juga heran kenapa kok bisa sampai seperti ini, sampai-sampai ada teman saya bilang “kamu kebanyakan pengembang kue tuh tayuh jadi ikutan ngembang”. Saya hanya tertawa. Mungkin saya agak stress, atau karena saya keseringan makan malam, karena sempatnya memang makan larut malam akibat kerjaan. Namun saya tetap bertanya-tanya, apa penyebabnya. Maaf, yang tadi keluar topik, jadi saya sangat menikmati proyek CS atau Cokelat Station yang saya bengun bersama teman-teman saya ini, sungguh. Kadangkala memang menguras tenaga namun banyak ilmu yang saya dapatkan, kreativitas saya pun mulai berkembang. Pembaca belum yakin? Mari saya buktikan. Menurut pak Wallas (1926) ada 4 tahapan dalam proses kreatif, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi (pencerahan), dan verifikasi. Ya, dalam tahap persiapan yaitu memformulasikan suatu masalah & membuat usaha awal untuk memecahkannya, saya beserta teman mulai membentuk ide baru dan melahirkan CS dengan beberapa kelebihannya. Kemudian Inkubasi, merupakan masa di mana tidak ada usaha yg dilakukan secara langsung untuk memecahkan masalah & perhatian dialihkan sejenak ke hal lain, di masa ini saya sangat bosan membuat kue, dan saya mengalihannya pada rutinitas kuliah saya dan kegiatan lain yaitu mengajar privat. Selanjutnya Iluminasi / pencerahan, yaitu memperoleh insight (pemahaman yang mendalam) dari masalah tersebut, setelah saya mengalihkan fokus pada CS tadi, saya dan teman-teman mulai menemukan gebrakan baru untuk CS dengan membagikan stiker dan perequest-an design sesuai selera pembeli. Tahap terakhir adalah Verifikasi yang merupakan pengujian pemahaman yang telah didapat & membuat solusi. Ya, saya dan teman-teman sudah tahu kemana arah CS ini dikembangkan dan mengapa harus dikembangkan.
Jelas sudah mengapa saya sangat sayang dengan CS ini, membuat saya belajar banyak hal. Belum lagi loyalitas di dalamnya yang mungkin akan saya publish di artikel saya selanjutnya. Dan ketika saya menulis ini, saya terinspirasi oleh kegiatan yang saya kerjakan sebelum artikel ini saya tulis, yaitu menggunting ratusan stiker CS.
Kepada bapak dosen saya, jika pada artikel saya sebelumnya saya memohon maafkarena kemunduran saya dalam menulis. Hari ini saya berterimakasih pada bapak membuat saya paham, menulis artikel ini bukanlah tekanan namun obat buat saya. Ya, terapi asosiasi bebas saya. Terimakasih Pak, salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H