Pasca 100 hari Presiden Jokowi berkuasa, Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan yang cukup menyita perhatian masyarakat internasional.
Dua hal yang menjadi tolak ukur signifikan adalah kebijakan pemberlakuan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba dan penenggelaman kapal-kapal asing pencuri ikan di wilayah perairan nusantara. Sedikit banyak, ini menjadi pemicu sejumlah ketegangan diplomatik RI dengan negara-negara lain.
Sebagai catatan, ketegangan diplomatik ini bukan kali pertama dialami oleh Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun Litbang Kompas (25/2), Indonesia telah mengalami beberapa kali konflik diplomatik dengan negara lain. Tahun 2010, Indonesia sempat mengalami ketegangan dengan Malaysia terkait dengan penangkapan tiga aparat Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh Polisi Diraja Malaysia di perairan Pulau Bintan. Tahun 2013, Indonesia juga bersitegang dengan Australia terkait kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap sejumlah pejabat tinggi negara Indonesia.
Ketegangan diplomatik
Kita telah melihat sejauh apa negara-negara seperti Australia, beberapa negara ASEAN, Brasil, dan Tiongkok, dalam merespon sejumlah kebijakan tersebut di atas. Sebut saja kebijakan penenggelaman kapal-kapal asing pencuri ikan di wilayah perairan kita.
Beberapa negara ASEAN yang kebetulan ‘bertatap muka’ dengan Menteri Susi masih menunggu bagaimana respon pemerintah RI jika kebetulan mendapati kapal-kapal Tiongkok wara-wiri di perairan RI. Tentu ini menjadi tantangan bagi pemerintah RI agar tidak dicap sebagai negara yang ‘tebang pilih’ dalam menegakkan disiplin kelautan dan perikanannya.
Demikian pula dengan pemberlakuan hukuman mati di Indonesia. Kini pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang belum terselesaikan menyusul tertundanya eksekusi mati dua terpidana narkoba asal Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Dalam hal ini, Australia menjadi pihak terdepan dalam penolakan kebijakan tersebut. Hingga keluarnya pernyataan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, yang menyebutkan Indonesia harus mengingat bantuan Tsunami 2004 yang diberikan Australia. Pernyataan memalukan ini berujung pada terbentuknya gerakan #KoinUntukAustralia yang diprakarsai oleh warga Aceh dan sejumlah netizen di tanah air.
Lain halnya dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Brasil yang dinilai para pengamat politik luar negeri sebagai sebuah penghinaan terhadap RI. Ini terjadi menyusul pembatalan sepihak dan mendadak penerimaan surat kepercayaan diplomatik (kredensial) Toto Riyanto oleh Presiden Brasil, Dilma Rousseff, akhir pekan lalu. Toto meyakini penolakan tersebut erat kaitannya dengan eksekusi mati warga Brasil oleh Indonesia.
Persoalan hukuman mati menjadi beban tersendiri bagi Presiden Jokowi di masa-masa awal pemerintahannya. Penarikan duta besar yang dilakukan negara-negara terkait serta penghinaan terhadap utusan resmi tersebut menjadi polemik yang tidak hanya menjadi domain pemerintah, namun kini telah berubah menjadi domain yang meningkatkan kesadaran publik terhadap pola prilaku negara-negara yang warganya akan dan telah dieksekusi mati.
Dalam perkembangannya, eksekusi mati selalu menuai pro dan kontra. Ini terjadi karena pelaksanaanya selalu berbenturan dengan permasalahan kebijakan yang tidak manusiawi, baik secara hukum internasional, secara moral maupun kepercayaan.
Di sisi lain, timbul ideologi kedaulatan hukum RI di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang diimplementasikan dalam sejumlah kebijakan diplomatiknya. Kita setuju bahwa kita harus memerangi kasus narkoba yang sudah sekian lama membunuh dan membelenggu anak-anak bangsa. Kita juga setuju bahwa kapal-kapal asing pencuri ikan di perairan kita harus dikenai sanksi yang serius dan tegas.
Mengupayakan kedaulatan hukum
Namun, dalam menjalani hubungan antarnegara dan mengimplementasikan kebijakannya, kita tetap harus memerhatikan cara-cara kita dalam melakukan diplomasi. Kita sepakat bahwa kedaulatan sebuah negara, baik hukum dan keamanan, tidak boleh diintervensi dan diganggu oleh pihak asing.
Seiring dengan ketentuan tersebut, pertama, sebuah negara harus mampu menjelaskan data-data mutakhir, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kita harus mampu menjelaskan secara rinci dampak dan kerugian serta angka-angka akurat daripada suatu tindak pelanggaran disiplin, dalam hal ini kasus narkoba dan pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, kepada pihak-pihak yang menentang.
Walaupun kedaulatan hukum suatu negara adalah mutlak dan tidak bisa dipertentangkan, dalam upaya diplomasi tetap harus ada kejelasan yang dapat diproyeksikan sebagai fakta terang dan menjadi landasan penegakan hukum tersebut. Kita tentu tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa Indonesia akhir-akhir ini mengalami instabilitas politik dan hukum, menyusul perkara yang melibatkan dua institusi penegak hukum di Indonesia, KPK dan Polri.
Maka kita perlu menyadari bahwa dunia kini menyoroti Indonesia dengan tajam. Instabilitas ini dapat digunakan sebagai alasan utama penolakan negara-negara asing terhadap kebijakan-kebijakan politik, hukum, dan diplomatik Indonesia. Bagaimana mungkin sistem pemerintahan yang masih dirundung kekacauan dan terindikasi korup mampu, dengan percaya diri, mengeluarkan kebijakan strategis yang amat penting?.
Kedua, langkah diplomasi yang dilandasi dengan asas kepercayaan dan mutual understanding akan menurunkan ketegangan diplomatik antarnegara yang bersangkutan. Oleh karena itu, Indonesia perlu memberikan keyakinan bahwa ambivalensi dalam kedaulatan hukum adalah keniscayaan. Ini dikarenakan adanya perbedaan kepercayaan, kebudayaan, tradisi politik, dampak yang ditimbulkan, dsb.
Meski menuai banyak pro dan kontra, hukuman mati tidak berarti harus dihilangkan sama sekali. Negara-negara maju di Asia Timur seperti Jepang dan Singapura hingga kini masih menjadikan hukuman mati sebagai hukuman terberatnya. Artinya, kedaulatan hukum harus diimbangi dengan diplomasi yang sangat kuat dengan membela dan memberikan argumentasi yang pantas dan dapat diterima yang sesuai dengan kepentingan nasional negara tersebut.
Ketiga, menyusul penghinaan Presiden Brasil Dilma Rousseff terhadap perwakilan diplomatik Indonesia, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah lanjutan di samping pemanggilan pulang Dubes Toto Riyanto. Pemerintah dapat melakukan penurunan derajat diplomatik secara bertahap. Ini diatur dalam ketentuan Kongres Vienna (1815), Kongres Aken (1818), dan Konvensi Vienna mengenai hubungan diplomatik (1961). Penurunan derajat kerja sama juga mengacu pada bab penjelasan Pasal 33 UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Penurunan derajat kerja sama dapat dilakukan berjenjang dimulai dari penarikan Dubes hingga Atase. Derajat kerja sama antarnegara dapat dilihat dari jenjang kepangkatan pejabat diplomatik yang ditugaskan di negara tersebut.
Begitu pula dengan Australia, melalui PM Abbot, yang memperkarakan bantuan Tsunami 2004. Indonesia dapat mengeluarkan nota diplomatik yang menegaskan bahwa bantuan dari Australia dalam bentuk apapun di masa mendatang tidak lagi dibutuhkan Indonesia.
Ketegangan antarnegara dalam urusan diplomasi adalah hal yang lumrah. Hal yang paling penting adalah bagaimana Indonesia mampu terus mengupayakan kedaulatan hukumnya di tengah gesekan-gesekan yang datang dari pihak asing. Ini dapat diupayakan dengan menunjukkan ketegasan diplomasi dan tetap mengedepankan kepentingan nasional yang dibangun atas asas kepercayaan, penghormatan, dan mutual understanding dengan negara lain.
MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
Twitter: @sitawakal
Email: miqbaltawakaal@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H