[caption caption="Sumber: Wikihow.com"][/caption]Suatu siang di sebuah tempat makan, saya menghadiri undangan seorang teman untuk bersantap siang bersama. Tidak biasanya teman yang satu ini mengajak makan siang, apalagi mentraktir. Berhubung sudah begitu lama tidak bertemu dengannya, saya kemudian menyempatkan untuk datang.
Setibanya saya, ternyata di tempat tersebut telah datang beberapa teman lainnya. Layaknya seorang kerabat yang lama tidak bersua, padahal masih tinggal di lingkungan yang sama, kami pun bercerita panjang lebar sambil menunggu hidangan tersaji.
Jika ada satu hal yang tidak berubah dari mereka, adalah bahan obrolan yang tidak ada habisnya. Selepas makan siang, hari itu kami habiskan dengan tertawa mendengar cerita masing-masing. Dan sesuai tradisi kami, di sela-sela perbincangan pasti ada saat di mana kami melancarkan lelucon satu sama lain. Hingga akhirnya lelucon tersebut didaraskan kepada saya.
Jika ada satu hal yang tidak berubah dari saya, mengapa sejak dahulu saya selalu menerima lelucon bertubi-tubi. Cerita demi cerita kian bersambut. Layaknya objek bully pada umumnya, saya sebagai korban saat itu hanya bisa mendengar, sesekali ikut tertawa mengangguk, dan salah tingkah. Namun, lama-kelamaan saya cukup gerah dengan lelucon-lelucon tersebut.
Hingga pada suatu titik di mana seorang teman menceritakan sesuatu tentang saya, di hadapan saya, yang saya pikir tidak demikian. Saya tidak merasa melakukan seperti apa yang diucapkannya. Tawa pun perlahan memudar. Hanya senyum di satu sudut bibir yang menyimpul. Beberapa orang yang lain masih bersautan menambahkan versi ceritanya masing-masing. Namun apa daya, saya hanya bisa tersenyum, gerah, dan makin salah tingkah.
Hampir semua orang yang berada di meja tersebut merupakan rekan kerja saya ketika sebelumnya aktif bersama dalam sebuah komunitas. Selama dua tahun kiranya saya menjalin hubungan pertemanan bersama mereka. Bekerja bersama dalam tim, dan telah melewati ini dan itu. Dalam perjalanannya, saya mengakui bahwa saya bukan termasuk rekan kerja yang baik. Penilaian baik di sini kiranya berbeda tergantung persepsi masing-masing. Dan menurut pengamatan terhadap penilaian mereka, saya mengakui kurang begitu loyal dan optimal dalam menjalani pokok tugas saya di komunitas tersebut.
Ketika dihadapkan pada situasi ini, saya menyadari bahwa pada intinya apa yang mereka sangkakan kepada saya mungkin memang benar demikian. Setidaknya saya merasa itu ada benarnya. Dan saya sebetulnya bisa menerima itu. Tapi yang menjadi persoalan adalah mengapa saya sendiri tidak bisa menerima hal tersebut di hadapan mereka.
Saya selalu berusaha menyangkal. Membenarkan sangkaan yang tidak pada tempatnya. Apakah saya sedang berlaku tidak jujur pada diri sendiri? Apakah ego hingga sedemikian tingginya? Apakah sedemikian brutalnya pikiran saya untuk melindungi harga diri? Saya ingin marah saat itu juga.
Alasan membantah
Dalam kesempatan lain, saya memang dikenal sebagai pribadi yang keras kepala. Saya selalu bersikukuh dengan pendapat yang saya rasa itu benar. Ini membentuk struktur pikiran yang responsif dalam menghadapi kritik. Dalam kondisi tersebut, apapun kritiknya, saya selalu berusaha untuk menyangkal. Meski kini saya telah mencoba untuk tidak terpancing, pergulatan pikiran begitu kuat. Saya merasa respon terhadap kritik ini memang terlalu berlebihan. Secara tidak langsung saya selalu berupaya untuk terlihat baik, meski telah berlaku alpa di hadapan orang lain. Dengan menyangkal, saya berusaha untuk mengubur kesalahan-kesalahan tersebut jauh dari alam sadar.
Hingga mungkin saya tidak menyadari bahwa saya tengah aktif melakukan penyangkalan dalam tulisan ini. Penyangkalan demi penyangkalan selalu bergulat dan menunggu giliran untuk terucap. Di tengah kerasnya benturan penyangkalan, nurani saya kembali masuk tanpa diundang. Lantas apa sesungguhnya guna penyangkalan? Apakah menyangkal membawa ketenangan? Apakah menyangkal mampu mengubah penilaian orang? Sedemikian besarnya kah pengaruh penilaian orang lain bagi saya? Apakah menyangkal bisa menutup kenyataan itu sendiri?Â