Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Rumah Perubahan

Siang Konsultan. Malam Kuli Tinta Jadi-Jadian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tongsis dan Panggung Kepemimpinan

25 Maret 2014   00:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rabu (19/03) lalu, saya berkesempatan mengikuti kegiatan Pengembangan Kepemimpinan (Leadership Development) sebagai fasilitas program yang diberikan dari sebuah program beasiswa di Yogyakarta. Malam itu, saya beserta puluhan orang lain dari seluruh penjuru negeri berkumpul di ballroom hotel untuk membuka acara. Satu yang menarik perhatian saya adalah ketika salah seorang teman perempuan, dengan Tongsis (Tongkat Narsis) di dalam genggaman, maju ke depan dan tiba-tiba serentak diikuti peserta lain. Mereka berpose riang, seluruh peserta ikut serta dalam momen tersebut. Seolah terhipnotis, kaki saya tergerak untuk ikut berbaur membuat gaya bersama mereka. Terpaku pada satu titik 450 sejauh 90 cm di atas kepala.

Bunyi ‘klik’ samar-samar terdengar di tengah keriuhan aula. Beberapa saat kemudian pemandu acara masuk ke dalam ruangan dan menginstruksi kerumunan massa untuk duduk kembali di kursi masing-masing. Betapa momen yang ceria kala itu. Di mana teknologi, ketika digunakan pada momen yang tepat, dapat menghadirkan kebahagiaan. Dan tentunya, dapat pula dianalogikan sebagai bentuk kepemimpinan modern yang ideal.

Amalia E Maulana, seorang konsultan brand ternama, melalui akun twitternya (@etnoamalia) pernah membahas secara singkat mengenai bagaimana korelasi antara Tongsis dengan model kepemimpinan modern. Kondisi situasional kepemimpinan kekinian menempatkan fungsi dan peran tiap orang dalam kelompok tertentu untuk menunjukkan dan memaksimalkan potensinya.

Tongsis mengajarkan kepada setiap orang untuk rela berbagi panggung dengan orang lain. Menempatkan setiap orang sesuai proporsinya masing-masing untuk bebas berekspresi. Tidak ada unsur Aku sebagai individu di foto yang dihasilkan. Semua orang berkumpul di panggung dan frame yang sama dengan gayanya sendiri. Tidak ada kesan egois yang terbentuk dari momen bersama tongsis.

Begitu juga dengan model kepemimpinan ideal. Bagaimana kondisi tersebut dapat terbentuk ? Di sinilah peran dari seorang pemimpin diperlukan. Pergeseran zaman telah menggerakkan para pemimpin untuk tidak terfokus pada diri sendiri. Mencuri setiap momen untuk memperkaya diri dan tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berkarya dan berekspresi sebebas-bebasnya. Sebagaimana pemimpin pada umumnya, Ia harus mampu memotivasi dan memberi ruang yang cukup kepada pengikutnya untuk dapat menonjolkan dirinya melalu karya-karya produktif.

Ide kepemimpinan tersebut otomatis berjalan-jalan di pikiran saya selama kegiatan berlangsung. Saya mencoba untuk mengaplikasikan model itu meski dalam lingkup kecil. Banyak hal yang kemudian disadari dan dipelajari. Bahwa mengamalkan model seperti itu memerlukan hati yang tulus dan sabar, memahami pentingnya untuk menahan diri, merangsang anggota kelompok untuk mengeluarkan ide, dan memberi ruang sebebasnya kepada mereka untuk berani ‘tampil’. Hal-hal tersebut tidak akan terwujud bagi seorang pemimpin yang hanya memikirkan dirinya sendiri.

Lalu apa sebenarnya tujuan dari model ini ? tidak lain adalah untuk memahami bahwa kesuksesan kelompok bukan karena skill yang dimiliki oleh beberapa individu saja. Namun berasal dari teroptimalkannya potensi masing-masing anggota. Bukan karena apa yang dilakukan pemimpinnya. Namun karena apa yang berhasil dikerjakan oleh anggotanya untuk mencapai tujuan bersama. Ketika anggota kelompok merasa tidak mendapatkan apapun selama berproses di dalam kelompok, maka tentu ada yang salah dari metode kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpinnya.

Model kepemimpinan tongsis bukanlah hal yang baru. Ide tersebut sebelumnya telah dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922 ketika mendirikan sekolah Taman Siswa. Utamanya pada slogan ‘Tut Wuri Handayani’ yang berarti dari belakang seorang guru/pemimpin harus memberikan dorongan/arahan. Pemimpin bukan lagi menjadi sosok yang serba bisa dan serba tau. Dan panggung kesuksesan kelompok bukan milik pemimpinnya seorang, namun milik bersama dalam satu momen dan bingkai yang sama.

ooOOOoo

@sitawakal
good writings Indonesia :)))

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun