Mohon tunggu...
Taufiq Rahmat H
Taufiq Rahmat H Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamat Sosial

Fokus dan Tenang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Public Art : Suatu Afirmasi terhadap Relasi Produksi

8 Desember 2012   13:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:59 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13549736972131154014

[caption id="attachment_228346" align="aligncenter" width="300" caption="Festival of Lights Berlin, Brandenburer Tor, Timeguards sculptures by Manfred Kielnhofer - wikipedia"][/caption]

Karya seni merupakan hasil dari suatu proses kreatif yang tidak dapat menafikkan persoalan komoditi. Seni menjadi persoalan ekonomi karena seni secara langsung terlibat dengan adanya massa penikmat dan biaya produksi. Adanya para pekerja dalam menghasilkan karya seni menunjukkan suatu relasi antara seni dengan proses produksi, meskipun para pekerja tidak terlibat secara langsung dengan persoalan estetika. Mereka bekerja secara mekanis sesuai metode yang telah ditetapkan oleh seniman. Maka persoalannya adalah, kualitas suatu karya seni ditentukan oleh medium-mediumnya seperti pengeluaran untuk pengadaan peralatan, bahan, dan para pekerja. Istilah public art mengacu pada karya seni dalam setiap media yang lokasinya telah direncanakan dan pembuatannya dilaksanakan dengan tujuan tertentu, seperti patung, monumen, atau gedung-gedung yang mempunyai nilai historis. Public art biasanya terdapat diluar ruangan dan dapat diakses oleh banyak orang. Istilah public art menandakan adanya praktik kerja tertentu antara seniman perancang, praktisi seni, penyandang dana, dan institusi yang terlibat. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana relasi antara public art sebagai karya seni dengan adanya proses produksi. Harus dipahami bahwa akan ada implikasi logis jika kita menjadikan relasi produksi sebagai postulat dari segala aktifitas manusia termasuk dalam dunia seni dan ekonomi politik (baca: teori Marxian). Implikasi tersebut akan mengarah pada persoalan ontologi seni, eksistensi seniman, dan eksistensi kekuasaan ekonomi politik. Kami akan mencoba menjelaskan bagaimana masing-masing tema ini saling terkait satu sama lain. Seni dan relasi produksi diandaikan ada secara ontologis dan ditelisik keterkaitannya dengan kuasa ekonomi politik.

Public Art Sebagai Karya Seni

Ada keterkaitan antara public art dengan artworld. Public art sebagai suatu karya seni tidak berdiri sendiri. Pihak-pihak yang terlibat diantaranya adalah lembaga pendana, instirusi terkait maksud dan tujuannya, para pekerja, praktisi public art, seniman perancang, dan para kurator. Public art berkorelasi dengan karya seni multi media yang dibangun dan dikerjakan dengan maksud dan tujuan tertentu. Public art seringkali diletakkan di lingkungan fisik publik dan di ruangan terbuka agar dapat dinikmati dan diinterpretasi oleh masyarakat luas. Berbagai pameran karya seni yang ada di ruang publik bisa jadi merupakan public art jika dibarengi dengan argumentasi yang mendukung eksistensi karya seni tersebut.

Secara konvensional, karya seni yang disebut public art dapat diselidiki asal-usul sejarah, lokasi, kondisi sosial, dan tujuan sosial karya seni tersebut dibangun. Ini memungkinkan adanya suatu interpretasi oleh masyarakat luas. Dapat pula dipahami bahwa public art merupakan karya seni yang dibangun bukan demi dirinya sendiri sebagai karya seni, namun selalu terkait dengan perencanaan dan tujuan tertentu yang diselipkan oleh instansi tertentu agar dapat dipahami oleh masyarakat luas. Pada hakikatnya, karya seni yang sudah diciptakan dengan sendirinya akan memasuki ranah publik. Karya seni yang tidak dilepas ke ranah publik justru tidak dapat dipahami sebagai karya seni. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tidak ada seni yang privat. Public art menunjukkan adanya polarisasi dan pluralisasi seni dan public art sebagai suatu pengertian yang berlawanan. Sebagai konsekuensi eksistensi public art sebagai karya seni yang hadir dtengah-tengah ruang publik, ia tidak dapat terlepas dari ranah politik dan kepentingan. Public art menjadi komunitarian dan menuntut adanya penikmat dengan interpretasi aktif. Public art tidak serta merta menunjukkan konsensus final atas wacana tertentu. Justru ia berfokus pada interpretasi yang berulang-ulang dan saling melengkapi dari penikmat, meskipun di awal-awal pembuatannya selalu didasari pada argumentasi para penggagas.

Ontologi public art sebagai karya seni akan menjadi persoalan baru jika kita telisik relasi public art dengan proses produksi. Bukan hanya ontologi public art¸bahkan ontologi seniman pun dapat dipersoalkan. Jika mengacu pada gagasan Marxian tentang dialektika materialismenya, seluruh aktifitas sosial ekonomi manusia termasuk salah satunya aktifitas berkesenian, dapat direduksi sebagai aktifitas ekonomi. Reduksi tersebut bisa jadi tidak lagi membuat garis demarkasi antara seni secara ontologis dan relasi produksi sebagai dasar proses pembuatan suatu karya seni. Kita dapat membuktikan bahwa reduksi itu bernilai benar jika karya seni merupakan komoditi dan dapat dikonversi dalam nominal tertentu sesuai kesepakatan.pembuatan karya seni memang memerlukan biaya produksi.Dengan demikian, nilai estetika yang ada pada karya seni tidak lain hanya menjadi ‘pemulus’ proses-proses ekonomi dan manciptakan kualitas semu bukan demi karya seni itu sendiri, namun demi kepentingan ekonomi politik. Nilai estetika memberikan nilai tambah dan nilai jual yang tinggi. Faktor lain yang juga harus kita kaji adalah pengaruh keahlian pekerja yang menjadi aset penting dalam penciptaan karya seni. Seniman (istilah ini diandaikan bagi eksistensi seniman secara ontologis di dalam relasi produksi) harus memikirkan cita rasa dan karsa penikmat dalam planning reka bentuk karya seni. Dengan demikian, akan ada ketergantungan antara pembuatan karya seni dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita dengan mudah dapat memahami bahwa karya seni tidak dapat berdiri sendiri untuk dirinya sendiri. Ada relasi yang tidak dapat diabaikan begitu saja antara maksud dan tujuan pembuatan karya seni (termasuk public art) dengan relasi produksi.

Ada tiga aspek penting mengenai kualitas karya seni. Pertama, kualitas karena merupakan hasil seni. Kedua, kualitas karena pengerjaannya yang baik. Dan ketiga, adanya proses kreatif yang menghasilkan perubahan kualitas dari bahan dasar menjadi barang jadi berupa karya seni. Nilai estetika menjadi sangat penting dalam pembuatan karya seni. Keterkaitan antara nilai estetika bagi seniman dengan relasi produksi setidaknya menimbulkan dua asumsi. Pertama, seniman berorientasi pada nilai estetis karya seni sehingga tidak mempedulikan biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi. Kedua, seniman menyesuaikan biaya yang ada dengan karya seni yang dihasilkan. Hal tersebut akan kita teliti lebih lanjut dengan menelaah kembali gagasan Jacques Rancière tentang estetika politiknya. Rancière setidaknya telah membuka ruang diskusi bagi pembahasan relasi ekonomi-politik dengan karya seni dan estetika.

Estetika Politik Jacques Rancière

Jacques Rancière adalah seorang pemikir filsafat yang pernah juga menjadi murid Althusser. Ia lahir di Aljeria pada tahun 1940. Rancière bersama Althusser pernah menulis sebuah buku yang sangat terkenal dan berpengaruh besar dalam pemikiran Marxist, yaitu Reading Capital (1965). Rancière berpisah dengan gurunya setelah peristiwa Mei 1968. Ia pernah menerbitkan sebuah esai pada tahun 1969 yang isinya berupa kritik tajam terhadap pemikiran Althusser. Rancière juga tergabung dalam organisasi mahasiswa-pekerja berhaluan Maois. Pada tahun 1975 ia membantu penerbitan sebuah jurnal bernama Rèvoltes Logiques. Dalam periode antara akhir 70-an hingga awal 80-an ia menerbitkan karya-karya yang kemudian berpengaruh besar dalam pemikiran Marxisme seperti The Night of Labor (1981) dan The Philosopher and His Poor (1983). Rancière mengajar di University of Paris VIII dari tahun 1969 hingga tahun 2000. Ia mengepalai Chairs of Aesthetic and Politics dari tahun 1990 hingga pensiun di universitas tersebut. Karya-karyanya bernuansa kiri. Tulisannya yang menguak persoalan filsafat seni dan estetika dalam kaitannya dengan relasi ekonomi politik adalah The Politics of Aesthetics, From Politics to Aesthetics?, dan The Aesthetics Revolution and It’s Outcomes. Dalam kaitannya dengan filsafat politik, ia membagi filsafat politik dominan yang berkembang dalam sejarah filsafat di Barat ke dalam tiga jenis yakni archipolitics, metapolitics dan parapolitics. Ketiganya dijelaskan Rancière sebagai berikut:

Pertama, archipolitics adalah model filsafat politik yang dimulai oleh Plato. Di dalam archipolitics ‘yang politis’ hancur karena di dalamnya tidak ada kesetaraan. Yang Politis tidak muncul karena setiap orang diposisikan pada sebuah tempat dan posisi yang ‘diharapkan’ ketimbang bergerak untuk mencapai kesetaraan. Archipolitics menyusun dan menata setiap orang dalam tembok yang rugid. Slavoj Zizek menafsirkan archipolitics Rancière dengan menyimpulkan karakter archipolitics sebagai ruang sosial yang homogen dan terstruktur secara organis yang tidak memungkinkan munculnya ‘yang politis’.

Kedua, parapolitics. Parapolitics mendapatkan pendasarannya dari Aristoteles yang dipandang sedikit lebih ‘demokratis’ daripada Plato. Pada parapolitics, politik dipandang sebagai persoalan estetika: politik adalah percakapan dan penampilan atau pemunculan dalam ruang publik. Pada level ini parapolitics boleh disebut sebagai bentuk dari depolitisasi politik karena konflik dalam politik diterima tetapi untuk dengan segera direformulasikan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih lembek seperti kompetisi dalam, konsensus dan representatif. Dalam politik kontemporer semua bentuk politik yang berbasis pada pandangan kontrak dan deliberasi (Rawls dan Habermas) merupakan kelanjutan dari parapolitics.

Ketiga, metapolitics yang berakar dalam pikiran Marxis. Menurut Rancière, metapolitics pada dasarnya adalah bentuk pengingkaran terhadap ‘yang politis’ karena kebenaran akan politik sering ditempatkan atau dicari di tempat lain ‘di luar sana’, jauh melampaui politik. Menurut pandangan Marxisme seluruh relasi politik tidak lebih dari sekadar refleksi dari kepentingan dan relasi-relasi dalam mode produksi. Dengan demikian politik bukanlah perkara utama, ia hanya merupakan suatu etalase dari kepentingan relasi produksi dominan.

Penelitian yang dilakukan Rancière bertujuan untuk membangun teori tandingan dalam filsafat politik. Ia meneliti bagaimana kehidupan para pekerja secara empiris. Dari penelitian tersebut Rancière mendapatkan temuan bahwa kebanyakan pekerja tidak terlalu banyak mengeluhkan kesulitan hidup karena alasan-alasan materi tetapi lebih cenderung pada persoalan kualitas hidup yang rendah akibat ketatnya hirarkhi yang dibentuk oleh sistem sosial. Menurut Rancière, kelas yang paling radikal bukanlah kelas yang menginginkan adanya perubahan yang mutlak dalam hirarki sosial, namun justru kelas yang berada dalam situasi atau posisi ‘migrasi’, kelas yang berada dalam wilayah perbatasan yakni mereka yang memiliki ideal yang melampaui batasan-batasan materialnya. Migrasi adalah gerak setiap subjek untuk melampaui batasan-batasan sosial maupun ekonomi dan kebudayaan yang menempatkan subjek pada posisi statis tertentu. Konsekuensinya, percobaan untuk mengubah keadaan tidak dapat dilakukan melalui penolakan karena situasi. Tembok dan hirarki sosial tidak dapat dilampaui dengan melawan suatu kebudayaan, melainkan harus dengan sebuah perlintasan kebudayaan yang berupa praktik kegiatan kebudayaan yang dilakukan kelas pekerja untuk melintasi hirarki sosial.

Hal tersebut akan menimbulkan pertanyaan: apa yang memungkinkan kelas pekerja melintasi dan mendobrak struktur atau hirarki sosialnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita akan merujuk pada asumsi antropologis Rancière. Ia mengatakan bahwa the proletarian of 1830’s were people seeking to constitutes themselves as speaking beings, as thinking being in their own right. Dengan demikian asumsi dasar yang dipergunakannya untuk mengukuhkan kemampuan menggeser benteng besar yang telah dibangun Plato sangatlah sederhana, yaitu asumsi bahwa setiap orang mampu berpikir dan berbahasa. Pikiran mampu melelehkan segala regulasi dan menantang segala bentuk klasifikasi sosial. Berpikir berarti menghancurkan setiap modus distribusi kelas, tempat, dan norma-norma. Berpikir mungkinkan terjadinya the disturbances of the speaker and disruption of the community.

Akhirnya Rancière sampai pada pemikiran mengenai persoalan sejauh mana ‘yang politis’ sekaligus ‘yang estetis’ mempunyai relasi. Berikut adalah kutipan dari argumentasi Rancière yang menggambarkan kesatuan antara yang estetis dan yang politis: “A worker who had never learned how to write and yet tried to compose verses to suit the taste of his times was perhaps more of a danger to the prevailing ideological order than a worker who performed revolutionary songs” Seorang anggota kelas pekerja yang belajar bagaimana menulis dan menyusun sebuah syair yang cocok untuk jamannya barangkali jauh lebih mengancam keutuhan tatanan ideologis daripada mereka yang menyanyikan lagu-lagu revlusioner. Untuk memahami kutipan tersebut terlebih dahulu kita harus mengkaji ulang makna ‘yang plitis’ menurut Rancière. Apabila ‘yang politis’ adalah interupsi kepada benteng kuasa dan distribusi sensibilitas, maka tujuan dari ‘yang politis’ adalah perubahan pada posisi hirarki suatu tatanan. Dengan demikian hal yang terpenting adalah ‘gerak’ atau migrasi dari status sosial (buruh atau borjuis) ke status sosial lainnya sembari menghancurkan benteng kuasa beserta hirarki sosial dalam rezim sensibilitas yang ada.

Buruh yang membaca dan menyusun sebuah syair mungkin bukanlah pekerja dengan obsesi mengenai pembalikan struktur kapitalis, tetapi justru melalui kegiatan tersebut ia sebenarnya telah bergerak melintasi struktur dan ketetapan yang semula digariskan oleh standard ideologi kapitalis. Dengan demikian, dalam proses kegiatan estetis tersebut buruh menerobos ‘tatanana higienis’ yang diciptakan oleh sistem demi menempatkan dia dalam posisinya. Buruh tersebut telah menghapus ‘kutukan Platonis’ awal bahwa ‘kelas pekerja’ hanya patut bekerja pada tempatnya, sementara urusan estetika dikerjakan oleh para bijak di singgasananya (baca: analogi tubuh Plato). Kita menemukan arus ganda dalam pandangan Rancière mengenai ‘yang politis’ sebagai ‘yang estetis’. Pertama, arus yang ditelusuri melalui jalur subjeknya (buruh yang menulis puisi) dan kedua, melalui karya seninya itu sendiri (puisinya). Pada proses tersebutlah revolusi estetika dapat terjadi. Revolusi Estetika adalah setiap guncangan pada seni yang telah didefinisikan sebagai sebuah kerangka tindakan yang sistematis, guncangan terhadap seluruh hirarkhi konsepsi dan sensibilitas. Guncangan tersebut bukan diciptakan dari luar sebagai suatu perlawanan, namun justru dari dalam melalui karya seni dalam sistem sosial yang sedang berlaku. “In this sense, the aesthetic revolution is an extension to infinity of the realm language, of poetry. It is the affirmation that poems are everywhere, that painting are everywhere. So, it is also the development of a whole series of forms of perception which allow us to see the beautiful everywhere.”

Filsafat Seni Jacques Rancière

Pemikiran penting Jacques Rancière dalam filsafat seni adalah pendekatannya terhadap estetika yang berbeda dari pemikir pemikir estetika sebelumnya. Pendekatan estetikanya dihasilkan dari implikasi karya karya terhadahulunya. Fokus utama dari penelitian politis dan historisnya adalah untuk memperjelas dimensi estetik dari pengalaman politis. Estetika sebagai “sense” bukanlah melulu persoalan mengenai seni, tetapi juga merupakan persoalan ruang dan waktu. Tapi ruang dan waktu yang dimaksud oleh Rancière ini tidak sama dengan konsep estetika Kantian yang merupakan bentuk presentasi dari objek “pengetahuan”, melainkan merupakan konfigurasi dari “tempat” kita di dalam masyarakat. Dalam dissertasi Rancière yang berjudul “The Nights of Labor”, ia mementaskan kembali kelahiran dari “pergerekan pekerja” sebagai pergerakan estetik. Yang dimaksudkan disini relasi “pergerakan buruh” dengan revolusi estetik adalah bagaimana situasi “keseharian buruh” terbingkai dalam waktu dan ruang. Inti dari emansipasi pekerja adalah revolusi estetika dan inti dari revolusi tersebut adalah persolan “waktu”.

Estetika dapat dipahami dalam pikiran Kantian yang memeriksa kembali pikiran Foucault, bentuk a priori sebagai sistem menentukan apa yang hadir dengan sendirinya untuk mengartikan pengalaman. Ini adalah sebuah delimitasi ruang dan waktu, dari yang nampak dan yang tidak nampak, dari perkataan dan bunyi, hal tersebut secara serempak menentukan tempat dan pertaruhan politik sebagai sebuah bentuk pengalaman. Ranah politik berputar mengelilingi apa yang terlihat dan tentang apa yang dapat dibicarakan, di sekitar siapa yang memiliki kemampuan untuk melihat dan kemampuan berbicara, di sekitar kekayaan ruang dan berbagai kemungkinan waktu.

Plato memperbandingkan bentuk seni yang baik dengan menulis dan teater, bentuk koreografi masyarakat yang bernyanyi dan menari. Here we havethree ways of distributing the sensible that structure the manner in which the arts can be perceived and thought of as forms of art and as form that inscribe a sense of community: the surface of ‘depicted’ signs, the split reality of the theatre, the rhythm of a dancing chorus.

Ada tiga cara mendistribusikan sensibilitas struktur bahasa dimana seni dapat dirasakan dan dipikirkan sebagai bentuk dari seni dan bentuk yang melukiskan perasaan masyarakat, yaitu bidang untuk menggambarkan tanda, membagi realitas dari teater, dan irama dari rombongan penari. Bentuk tersebut menegaskan bagaimana suatu karya seni atau pertunjukan ‘terlibat dalam politik’, atau mungkin sebaliknya justru mengarah kantujuan, seniman mode sosial dari integrasi, atau bahasa dengan bentuk artistic merefleksikan suatu pergerakan atau struktur sosial.

Dalam Disagreement, Rancière mencoba mengkonseptualisasikan “estetika” dari politik secara general. Namun dalam The Nights of Labor, ia menyatakan bahwa konseptualisasi tersebut tidak ada, yang ada hanyalah hal puitis dalam “kerja”. “That poetics tentatively framed a specific sensorium, a specific kind of space and time in order to make that new experience of speech and visibility perceptible, to take it away from the usual connection between social situations and their so-called expressions or form of consciousness. Maksudnya, hal tersebut adalah upaya untuk mengambil permasalahan sosial dari “plot” representasional dan memindahkannya ke dalam plot estetika.

Ada analisis lain yang dikonfrontasi oleh analisis Rancière. Konfrontasi tersebut dengan analisis Bourdieu tentang “Distinction”, Bourdieu secara jelas menyatakan “estetika” sebagai “distingsi sosial”. Ia mengkategorikan semua permasalahan sebagai permasalahan “disguise”. “He conceived the modern idea of the autonomy of the aesthetic sphere as the denial of incorporated social judgements. Maksudnya Bourdieu membayangkan ide modern tentang otonomi dari lingkungan estetika sebagai penolakan atas “judgement” yang dikeluarkan bukan oleh institusi yang berkepentingan. Jadi “judgement” yang dikeluarkan oleh seseorang yang tidak bukanlah bagian dari institusi yang berkepentingan, secara jelas ditolak oleh Bourdieu, konsekuensinya terjadi tranformasi kapital yang tadinya adalah kapital ekonomi dan sosial menjadi kapital kultural.

Permasalahan mengenai “Judgement” ini akan dijelaskan Rancière dalam teorinya tentang “emplotment otonomi vs heteronomy seni”. Teori ia mulai dari permasalahan “free appearance”, free appearance means that it is the appearance of a form of life in which art is not art”.Maksudnya, otonomi yang dibahas oleh Rancière adalah otonomi pengalaman, bukan otonomi karya seni. Pada mulanya otonomi terikat pada “ketaktersediaan” objek dari pengalaman estetis, kemudian berkembang menjadi otonomi kehidupan dimana seni tidak memiliki eksistensi yang terpisah, karena seni sendiri faktanya adalah ekspresi diri dari kehidupan.

Konsekuensinya, “free appearance” sebagai pertempuran terhadap heterogenitas sudah tidak ada lagi. Jadi permasalahan mengenai kontradiksi yang ada dalam lingkup estetika sebenarnya bukanlah oposisi mengenai seni melawan politik, “high art” melawan “pop culture”, ataupun seni melawan estetisisasi dari kehidupan. Semua oposisi diatas hanyalah fitur partikular dari kontradiksi yang lebih mendasar. Kontradiksi tersebut dapat kita peroleh dari formula “art is that art is an autonomous form of life”, formula ini dapat kita interpretasi dalam dua cara, “autonomy can be stressed over life” atau “life over autonomy”.

Relasi Public Art dengan Kapital dan Relevansinya Terhadap Pemikiran Rancière

Public art merupakan karya seni yang tidak dapat dibangun dengan permodalan yang lemah. Tujuan pembuatan public art memuat unsur politis dan kepentingan dengan maksud interpretasi tertentu dari pihak penikmat. Pembuatan public art menunjukkan adanya distorsi antara seniman dengan metode pembuatan oleh pekerja. Bahan dasar, para pekerja, dan biaya yang dikeluarkan menunjukkan adanya ketergantungan kepada kapital dan institusi tertentu. Gagasan tentang pembuatan public art sebagai penanda situasi sosial tertentu tidak akan terbentuk tanpa dukungan kapital. Maka apakah karya seni tersebut (public art) yang berkaitan erat dengan faktor produksi: SDA, modal, tenaga kerja masih merupakan representasi dari seniman, padahal yang terlibat secara langsung dengan mekanisme penciptaannya adalah para pekerja. Relasi tersebut menunjukkan pembuktian tentang estetika politik Rancière yang menyatakan bahwa, justru melalui gerak estetik revolusi itu dimungkinkan. Revolusi yang dimaksud tidak bersifat frontal dalam artian sistem sosial dilawan dengan sesuatu diluar dirinya, namun justru di lintasi dari dalam melalui karya seni. Public art yang biasannya merupakan simbolisasi atas kebudayaan dan situasi sosial tertentu menjadi agen-agen dari terjadinya revolusi dan interpretasi budaya.

Proses pembuatan karya seni (public art) menunjukkan adanya afirmasi terhadap relasi produksi. Terlepas dari motif eksistensial filosofisnya, secara teknis karya seni (public art) membutuhkan adanya faktor produksi (SDA, modal, tenaga kerja). Hal tersebut di level ontis telah menjadi persoalan ekonomi. Pembuatan karya seni (public art) menunjukkan adanya distorsi antara seniman dengan pekerja. Pekerja merupakan perpanjangan tangan dari seniman. Definisi seni menjadi rancu karena disorientasi makna antara karya seni sebagai gagasan dengan karya seni sebagai konstruksi. Sebagaimana gagasan Rancière tentang estetika politik, public art juga merupakan karya seni yang tidak dapat lepas dan berdiri sendiri untuk dirinya sendiri tanpa relasi dengan budaya dan kondisi sosial. Public art menjadi akses penting suatu perubahan. Meskipun secara teknis ia terkuasai oleh sistem sosial, public art juga merupakan jalan praktis estetis guna menyampaikan proses revolusi secara perlahan dari dalam sistem sosial itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Rancière, Jacques, 2004, The Politics of Aesthetics, New York: Continuum.

______________­__, 2002, The Aesthetic Revolution and Its Outcomes, New Left Review.

___________­_____, 2007, From Politics to Aesthetics.

Materi Kuliah Filsafat Seni 2012.

Rancière , Jacques. The Politics of Aesthetics The Distribution of the Sensible. Halaman 14

From Politics to Aesthetics? P.14

From Politics to Aesthetics? P.15

The Aesthtic Revolutiion and Its Outcomes P.136

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun