Dulu, ketika menjadi ketua BEM di kampus, salah satu agenda yang cukup rutin dan takpernah kami tinggalkan adalah bakti sosial. Selain karena tersedia dana dan sumber daya dari berbagai donatur, ternyata kegiatan ini juga membantu kami untuk memperkaya empati di kehidupan sosial.
Entah berapa yayasan, rumah yatim dan sebagainya yang pernah kami singgahi, hingga suatu hari kami singgah ke sebuah pantai jompo yang menempuh perjalanan hampir 2 jam. Singkat cerita, kami bertemu pihak pengelola yang sudah kami hubungi sebelumnya hingga kami bisa bercengkrama dan berkomunikasi dengan para lansia yang ada di sana.
Ada teman saya yang mengajak bernyanyi bersama, ada yang hanya mengajak cerita para lansia, ada yang membantu menyuapi seorang bapak yang sangat sepuh untuk makan, ada yang hanya duduk dan saling menatap saja dengan salah satu nenek di pojok taman dan lain sebagainya. Intinya, kami yang hadir sekitar 12 orang semuanya menyebar dan mencoba merasakan dan memberikan sedikit kebahagian yang bisa kami bagikan sebagai orang yang juga punya ibu dan ayah.
Setelah lama mengamati dan membaur dengan mereka, saya mendapati seorang ibu tua yang sedang menangis bersama teman wanita saya yang menemaninya. Saya memberi kode bertanya kenapa ibu itu menangis?Â
Teman saya tadi membalas dengan kode lain kalau jangan bertanya apapun dulu, biarkan dia menangis sepuasnya dulu. Ya, kami hanya diam menunggu ibu itu selesai menangis.
Tidak lama kemudian, setelah agak tenang, beliau mulai menceritakan siapa dia. Apa latar belakangnya. Dari cerita di awal saja, kami tahu kalau beliau bukan orang biasa.Â
Lebih lanjut, ibu itu menceritakan kalau anaknya ada 7 orang dan semuanya sudah sukses. Ada yang tinggal di luar negeri, kebanyakan di luar kota dan hanya satu yang ada di dalam provinsi (beda kota) dan anak itu yang paling 1-2 bulan sekali datang.Â
Selama bercerita, beliau masih terus menangis meski tangisannya semakin mereda. Saya melihat ada semacam penyesalan di matanya. Ada semacam kesedihan yang mendalam yang sangat sulit untuk ia ungkapkan meski sudah bercerita banyak.Â
Tentu sebagai anak, saya dan teman tadi belum sepenuhnya paham apa yang dirasakan ibu itu. Tapi jika memposisikan diri sebagai ibu (itu), maka sepertinya kami sudah mulai mengerti makna kesedihannya.
Setelah lama terdiam, akhirnya dia berkata kepada kami,
"Nak, 1 orang tua bisa menjaga, mengurus dan membesarkan 7 anaknya. Tapi, belum tentu 7 anak yang sudah dibesarkan bisa merawat meskipun hanya 1 orangtua.."