Dengan penuh kesadaran, besok adalah hari raya Idul Adha. Hari raya yang sebenarnya jauh lebih besar perayaannya dari hari raya Idul Fitri. Selain karena ibadah haji yang disyariatkan di dalamnya, juga ada ibadah kurban yang selalu dinantikan oleh seluruh umat muslim di seluruh penjuru bumi.
Sejarah yang paling sering diulang pada perayaan hari Adha tentu saja adalah sejarah Nabi Ibrahim AS yang diminta oleh Allah untuk berkurban. Singkatnya, anaknya lah (Nabi Ismail AS) yang diminta untuk "dikurbankan" hingga akhirnya Allah menggantinya dengan seokor kibas pada saat penyembelihan berlangsung.
Lebih jauh, dari semua proses yang ada, minimal ada 3 pelajaran atau hikmah yang bisa kita ambil dari sejarah Nabi Ibrahim AS dan keluarganya ini. Berikut adalah 3 hikmah yang bisa kita ambil.
1. Membentuk Keluarga yang Taat Kepada AllahÂ
Kalau hari ini ada seorang ayah yang taat kepada Allah, maka itu belum istimewa. Kalau ada orangtua (suami dan istri) yang taat kepada Allah, itu juga masih belum istimewa.
Tapi, kalau satu keluarga taat kepada Allah, itu baru istimewa. Ya, Nabi Ibrahim AS sukses membentuk ketaatan atas keluarganya secara utuh. Dia tidak ingin taat sendiri, tapi dia berhasil membentuk anak dan istri yang juga taat kepada Allah.
Bagaimana cara Nabi Ibrahim AS membentuk keluarga yang taat kepada Allah? Kuncinya ada di keteladanan. Hari ini, banyak orang yang kehilangan keteladanan hingga akhirnya perintah tak didengar, aturan dilanggar dan lain sebagainya. Ya, salah satu faktor utamanya karena krisis keteladanan.Â
Coba bayangkan, andai saja anak zaman sekarang yang diminta ayahnya untuk disembelih? kira-kira apa jawaban anak sekarang? Saya yakin kita semua tahu jawabannya. Tapi berbeda dengan Nabi Ismail AS ketika diminta untuk disembelih oleh ayahnya. Ya, itu bukan saja karena dirinya, tapi juga karena ada iman dan ketaatan yang terhujam di dalam jiwanya. Dan tentu saja salah satu faktornya adalah keteladanan dari sang Ayah.Â
2. Komunikasi yang Lancar Antaranggota Keluarga
Nabi Ibrahim meskipun seorang Nabi dan yakin mimpinya dari Allah, tidak pernah memaksakan kehendak untuk langsung menyembelih anaknya. Dia memilih jalur diplomasi dan komunikasi dengan anaknya untuk menanyakan pendapat anaknya tentang mimpinya. Alquran Surah Assafat ayat 102 mengurai bagaimana dialog yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada anaknya.
Singkatnya, dalam keluarga butuh komunikasi. Di masyarakat butuh komunikasi. Bahkan hingga bernegarapun kita butuh ilmu komunikasi. Semakin bagus komunikasi kita, maka tidak jarang akan semakin bagus hubungan yang terjalin antarberbagai pihak.
Pertanyaannya, sudah baikkah komunikasi kita dalam berbagai aspeknya? Kita yang paling tahu jawabannya.