Saya tidak ingin menyinggung hati dan perasaan kawan-kawan pecinta klub lain macam Real Madrid, Inter Milan, Juventus, Liverpool, MU, dan lain-lain, dengan opini saya ini. Bagi saya, sepak bola adalah seni, dan setiap seni memiliki keindahan sendiri-sendiri. Kalau anda mau, anda boleh membuat opini lain semisal “Kenapa saya mencintai Real Madrid dan berkhayal Timnas meniru Real Madrid”.
Kenapa saya mencintai Barca dan berkhayal Timnas kita meniru Barca?
Tentu yang saya maksud adalah Barca sejak era Pep Guardiola hingga sekarang. Hampir semua pertandingan resmi Barca tak pernah saya lewatkan. Klub ini pun telah mengalami revolusi sedemikian rupa, hingga menegaskan satu filosofi yang telah popular sebagai “Tiki Taka”. Prestasi gemilang Barca di bawah arsitektur Pep sulit tertandingi. Pujian-pujian terhadap level permainan Barca datang dari mana-mana. Malah, komentar-komentar bernada bombastis dan khayali sering terlontar. Misal, Messi itu dari planet lain. Kalau memakai nalar, tentu pujian seperti ini hanya omong kosong. Tetapi seni selalu memiliki bahasa yang tidak harus serta-merta dikaitkan dengan nalar. Seni adalah bahasa rasa, sebagaimana ketika seorang pujangga mengkhayalkan wajah sang kekasih bagai “bulan purnama”.
Filosofi tiki-taka itu tentu tidak bisa serta-merta diadopsi ke dalam ranah persepakbolaan di berbagai belahan bumi. Kasak-kusuk di Italia menyatakan bahwa filosofi tiki-taka tak akan cocok sebagai pilihan filosofi bola di Negeri Pizza. Namun sampai hari ini, Barca tetap mempertahankan filosofi ini, walau suatu saat filosofi ini niscaya akan ditinggalkan.
Bagaimana dengan Timnas kita?
Ini pertanyaan yang sulit. Segunung masalah selalu saja mewarnai persepakbolaan di tanah air. Kepentingan politik bersenggama dengan kepentingan periuk, dan sepak bola menjadi salah satu obyek yang dieksploitasi habis-habisan. Saya sama sekali tidak tertarik untuk terjebak dalam kekisruhan ini. Bagaimanapun, sepakbola Indonesia harus tetap eksis, Timnas harus bersatu, sangsi FIFA harus bisa dihindari, dan Timnas kita akan bisa banyak berbicara di tingkat regional maupun internasional. Terlalu berkhayalkah ini? Mungkin. Ya, saat ini, mungkin masih mungkin. Saya yakin, dalam kaitannya dengan sepakbola, rakyat yang mencintai sepakbola dan ingin melihat Timnas-nya maju dan berevolusi jauh lebih banyak dari segelintir orang yang “hobi” membuat kisruh dan hendak melihat Timnas jalan di tempat. Begitulah keyakinan saya.
Dan saat ini, tanda-tanda kebangkitan Timnas mulai tampak. Blanco datang. Pemain-pemain ISL akan bersatu dengan pemain-pemain IPL demi membela Timnas. Walau Blanco tak banyak mengenal permainan dan perkembangan sepakbola di Indonesia, tentu harapan kita bahwa Timnas akan lebih baik di era Blanco daripada era-era sebelumnya adalah harapan kita semua.
Pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabannya: Filososi bagaimanakah yang nanti akan diterapkan Blanco dan menjadi dasar bagai permainan Timnas kita?
Kalau saya punya corong dan kekuatan, tentu saya akan memberi masukan pada Blanco agar Blanco mengadopsi permainan tiki-taka ala Barca. Ini pilihan yang, menurut saya, lebih masuk akal daripada pilihan lain, misalnya filosofi kick ‘n rush khas Inggris, padahal filosofi ini sendiri seperti sudah banyak ditinggalkan di negeri Ratu Isabela sendiri.
Postur pemain-pemain Barca tak beda-beda amat dengan rata-rata postur pemain Timnas. Gaya tiki-taka adalah gaya yang mengandalkan umpan-umpan pendek, dari kaki-ke kaki. Ini pilihan yang lebih baik ketimbang gaya bermain Timnas selama ini yang sering mengandalkan bola-bola lambung. Passing-passing yang sering tidak akurat adalah tontonan yang tak terpisahkan dari permainan Timnas kita. Pressing yang sangat lemah juga menjadi salah satu kelemahan permainan Timnas. Semangat Puyol yang tak pantang menyerah harus menjadi “juru selamat” agar pemain-pemain kita menjadi petarung-petarung sejati di tengah lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H