Mohon tunggu...
Taa Satu
Taa Satu Mohon Tunggu... -

Pecinta Buku, Pemerhati agama, sosial, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Halangi Mereka dengan Lidahmu

28 Agustus 2013   00:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:43 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, yaitu bahwa sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan. Tiadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka, dan sesungguhnya mereka segera dimasukkan (ke dalamnya)
(QS. An-Nahl: 62).
Lidah itu tak bertulang, tetapi tajamnya bisa melebihi ketajaman sembilu. Ketajaman lidah bukan karena bentuknya, tetapi karena fungsi yang dimilikinya. Fungsi lidah adalah untuk berbicara. Untuk mengeluarkan kata-kata. Dan setiap kata yang meluncur dari lidah mengandung energi, betapapun kata-kata itu hanyalah bualan dan omong kosong belaka.
Orang yang sudah bisa berbicara, atau sudah bisa mengucapkan kata-kata atau kalimat, belum tentu ia memahami hal-hal berikut ini:


oApakah pembicaraan saya telah benar?
oApakah saya telah berbicara dengan berdasarkan pada kaidah-kaidah wicara yang baik dan benar? Tetapi apakah kaidah-kaidah wicara yang baik dan benar tersebut? Apakah ukurannya? Kenapa saya harus menerima ukuran tersebut?
oApakah gaya bicara saya mengagumkan?
oApakah orang yang mendengar pembicaraan saya merasa senang, terhibur, puar, tertarik, tercerahkan? Atau, justru orang yang mendengar pembicaraan saya merasa bosan, muak, mau muntah, dan lain sebagainya?


Jangankan terhadap hal-hal tersebut di atas, bahkan kita akan banyak menemukan contoh orang yang tidak sadar apakah pembicaraannya merupakan pembicaraan yang sadar atau tidak. Bahkan, banyak orang tidak mau dan tidak peduli terhadap pentingnya berbicara secara cerdas, menggetarkan, dan mengguncangkan. Banyak orang hanya tahu bahwa dirinya bisa berbicara; bahwa dirinya bisa mengeluarkan kata-kata atau kalimat-kalimat, tak peduli apakah kata-kata atau kalimat-kalimat yang ia ucapkan itu bagus atau tidak bagus, jelek atau tidak jelek, cerdas atau bodoh, konyol atau tidak konyol, membosankan atau memuaskan, jorok atau tidak jorok, dan seterusnya. Apakah sebutan yang pantas untuk kita pakaikan kepada orang-orang yang demikian ini?
Tampaknya, apa pun sebutannya tidaklah penting. Yang jelas, karena hal-hal itulah dalam kehidupan sosial kita, kehidupan kemasyarakatan kita, atau bahkan kehidupan keberagamaan dan kebangsaan kita, terjadi “ledakan—dari yang paling ringan hingga yang paling parah—karena kata-kata”. Kita sebut dengan istilah “ledakan yang terjadi karena kata-kata yang diledakkan”. Atas alasan itulah, kata-kata bisa menjadi alat pembunuhan yang efektif, berdaya ledak tinggi, dan massif sifatnya. Dan atas kenyataan yang demikian inilah pabila Scott M. Cutlip dan Allen H. Center dalam bukunya, Effective Public Relations, menyatakan, “Kata-kata dapat menjadi dinamit!”
Bukankah kita biasa mendengar orang yang berbicara secara kasar dan keras? Bukankah kita juga sering mendengar orang berbicara secara sembrono dan ngawur? Bukankah kita biasa pula mendengar orang yang berbicara secara bodoh dan sembarangan? Bukankah kita biasa pula mendengar orang yang berbicara secara jorok dan menjijikkan?
Lalu, bukankah kita juga mudah menjumpai mulut yang mengeluarkan kata-kata fitnah dan caci-maki? Bukankah fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan (saya lebih suka membandingkannya dengan daripada tidak memfitnah)? Bukankah kareba lidah (bicara) orang bisa saling bersitegang, saling menyikut dan menendang, saling memusuhi, saling menjegal, saling membunuh? Bukankah banyak keluarga yang mengalami keretakan karena pembicaraan? Banyak istri menuntut cerai suaminya karena akibat pembicaraan?
Pendeknya, sekali lagi betapa benarnya perkataan dari Cutlip dan Allen di atas—kata-kata dapat menjadi dinamit—yang bisa meledakkan apa saja dan siapa saja. Konon, menurut kedua ahli komunikasi ini, Hiroshima hancur-lebur dihantam bom atom tentara Amerika oleh sebab kesalahan dalam menangkap pembicaraan (tepatnya pesan), oleh pemerintah Jepang kala itu. Perkataan mokusatsu yang dipergunakan oleh pemerintah Jepang agar menyerah, diterjemahkan oleh Kantor Berita Domei menjadiignore, padahal maksudnya adalah withholding comment until a decision has been made!
Demikian itulah sekelumit contoh daya ledak dari apa yang kita sebut sebagai “bicara” atau “kata-kata yang dilafadzkan”. Demikian itulan contoh dinamit kata-kata yang berefek merusak dan menghancurkan.
***
Nilai manusia itu dapat diketahui dari pembicaraannya, karena pembicaraan setiap orang menunjukkan pikiran dan tabiatnya, dan dengan itu perasaan dan tamperamennya dapat diketahui dengan sangat mudah. Oleh karena itu, maka selama anda berdiam diri, kekurangan maupun kelebihan anda tersembunyi, tetapi ketika anda berbicara maka jiwa anda yang sesungguhnya akan terwujud sendiri. Apabila anda tak berbicara, orang lain tak akan mengetahui nilai dan harga anda.
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Manusia tersembunyi di bawah lidahnya.”
Ya, manusia tersembunyi di bawah lidahnya. Artinya, jiwa manusia bisa dilihat, dibaca, dan dinilai dari lisannya. Peribahasa kuno ini tidak akan pernah lahir manakala tidak mencerminkan kenyataan, “Tong kosong berbunyi nyaring”. Orang yang banyak berbicara biasanya hanya mengungkapkan banyak omong kosong belaka.
“Diam itu lebih baik daripada emas”—ini pun pepatah kuno yang menggambarkan seorang yang hidup dengan memiliki kearifan-kearifan diri. orang yang demikian ini tahu dan sadar kapan harus berbicara dan kapan pula harus diam. Mereka pun tahu apa yang mesti dibicarakan, apa yang mesti didiamkan. Lidah tidak dibiarkan untuk melisankan kata-kata yang tidak berarti, kurang berarti, jorok, cabul, dan segala omong kosong. Lidah disucikan dari keburukan-keburukan lisan. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak bisa berkata yang omong-kosong, jorok-jorok, atau cabul-cabul. Mereka bisa melakukan itu.
Tetapi untuk apa?
Untuk apa membuncahkan kata-kata yang tidak bermakna?
Untuk apa menghamburkan kata-kata yang justru hanya akan mencerminkan keadaan jiwa yang buruk, mesum, dan jahil?
Tetapi lihatlah, dengarlah, dan renungkanlah kebiasaan sebagian dari kita. Dalam banyak kesempatan dan banyak pertemuan, kata-kata yang tidak bermanfaat berhamburan bagai serpihan-serpihan dedaunan kering yang digulung badai. Canda-tawa dilakukan secara berlebihan. Orang-orang semakin merasa puas manakala semakin bisa banyak berkata-kata. Tak jarang, sesiapa yang sanggup secara terang-terangan berkata jorok maka dialah yang paling diberikan kesempatan untuk banyak berkata-kata!
Aduhai, sampai kapan….?
Sampai kapan lidah akan digunakan untuk hal-hal yang seperti itu?
Tidakkah anda bisa belajar dari orang-orang yang menjadi pecundang, pengecut, dan jahil akibat dia tidak bisa mengendalikan kata-katanya? Sukakah anda bergaul dan bersahabat dengan orang-orang yang tidak bisa mengendalikan lisannya?
Aduh, jangan begitu….
Sekali-kali, jangan seperti itu!
Tak ada kepatutan sedikit pun bagi seorang muslim untuk membiarkan lidahnya menghambur-hamburkan kata yang tidak bermakna dan hanya melahirkan keburukan-keburukan jiwa saja. Islam tidak pernah mengajarkan para pemeluknya untuk suka beromong-kosong, berbasa-basi, atau bahkan berkata-kata jorok dan cabul. Kenapa semua ini tidak diajarkan oleh Islam?
Jawabannya, karena tidak ada manfaat apa pun yang dapat dipetik dari menghambur-hamburkan perkataan seperti itu. Sebaliknya, mudharatnya muncul seiring dengan keluarnya kata-kata tersebut.
Dan berhati-hatilah…!
Apa yang ada di pikiran orang tentang anda itu tidak ada diketahui. Orang akan begitu mudah menjustifikasi anda seperti apa yang anda perkatakan itu. Bila anda sering berkata cabul, misalnya, anda akan dinilai sebagai orang yang cabul (walaupun anda bukanlah tipologi pencabul). Bila anda suka berbasa-basi, orang sulit akan menanggapi anda dengan serius, sebab basa-basi biasanya dihadapi dengan basa-basi pula.
Bila anda suka bercanda, terutama canda anda berlebihan, maka orang akan menilai anda sebagai orang yang tidak serius pula. Kalaupun anda tengah serius, orang akan menganggap bahwa anda tengah bercanda saja. Bila anda hanya mengungkapkan hal-hal yang sepele melalui kata-kata anda, maka orang berkeyakinan betapa bodoh dan piciknya pikiran anda; anda akan sulit diyakini sebagai orang yang memiliki otak cemerlang.
***
Sekarang, marilah saya ajak anda untuk merenungkan kisah dari Jalaluddin Rummi dalam Matsnawi-nya berikut ini:
Dahulu, ada seorang muadzin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Ia memanggil orang untuk sholat. Banyak orang memberikan nasihat kepadanya, “Janganlah kamu memanggil orang untuk sholat. Kita tinggal di negeri yang mayoritas bukan beragama Islam. Bukan tidak mungkin suara kamu akan menyebabkan terjadinya kerusuhan dan pertengkaran antara kita dan orang-orang kafir.”
Tetapi muadzin itu menolak nasihat banyak orang.
Ia merasa bahagia dengan melantunkan azannya yang tidak bagus itu di negeri orang kafir. Ia merasa mendapatkan kehormatan untuk memanggil sholat di satu negeri di mana orang tak pernah sholat.
Sementara orang-orang Islam mengkhawatirkan dampak azan dia yang kurang baik, seorang kafir datang kepada mereka suatu pagi. Dia membawa jubah, lilin, dan manisan. Orang kafir itu mendatangi jamaah kaum muslim dengan sikap yang bersahabat. Berulang-ulang dia bertanya, “Katakan kepadaku di mana muazin itu? Tunjukkan padaku siapa dia, muazin yang suara dan teriakannya selalu menambah kebahagiaan hatiku?”
“Kebahagiaan apa yang kau peroleh dari suara muazin yang jelek itu? Seorang muslim bertanya.
Lalu orang kafir itu bercerita, “Suara muazin itu menembus ke gereja, tempat kami tinggal. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia berkeinginan sekali untuk menikahi seorang mukmin yang sejati. Ia mempelajari agama dan tampaknya tertarik untuk masuk Islam. Kecintaan pada iman sudah tumbuh dalam hatinya. Aku tersiksa, gelisah, dan terus-menerus dilanda kerisauan memikirkan anak gadisku. Aku khawatir dia akan masuk Islam. Dan aku tahu tidak ada obat yang dapat menyembuhkan dia. Sampai satu saat anak perempuanku mendengar suara azan itu. Ia bertanya, ‘Apa suara yang tidak enak ini? Suara ini mengganggu telingaku. Belum pernah dalam hidupku aku mendengar suara jelek itu di tempat-tempat ibadat atau gereja.’
Saudara perempuannya menjawab, ‘Suara itu namanya azan, panggilan untuk beribadat bagi orang-orang Islam. Azan adalah ucapan utama dari seorang yang beriman.’
“Dia hampir tidak mempercayainya. Dia bertanya kepadaku, ‘Bapak, apakah betul suara jelek itu adalah suara untuk memanggil orang sembahyang?’ Ketika dia sudah diyakinkan bahwa betul suara itu adalah suara azan, wajahnya berubah pucat pasi. Dalam hatinya, mulai muncul kebencian terhadap Islam. Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari segala kecemasan dan penderitaan. Tadi malam aku tidur nyenyak. Dan kenikmatan serta kesenangan yang kuperoleh tidak lain karena suara azan yang dikumandangkan muazin itu.”
Orang kafir itu melanjutkan, “Betapa besar rasa terimakasih saya kepadanya. Bawalah saya kepada muazin itu. Aku akan memberikan seluruh hadiah ini.”
Ketika orang kafir itu bertemu dengan muazin dengan si muazin itu, dia berkata, “Terimalah hadia ini karena kau telah menjadi pelindung dan juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah kau lakukan, kini aku terlepas dari penderitaan. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak, akan kuisi mulutmu dengan emas.”
Rumi mengajari kita sebuah cerita yang isinya parodi atau sebuah sendirian yang sangat halus. Azan yang dilantunkan dengan buruk dapat menghalangi orang untuk masuk Islam. Dari cerita tersebut, kita tahu keberagamaan yang dimaksudkan untuk membawa orang pada agama berubah menjadi sesuatu yang menghalangi orang untuk memasuki agama.
Dan hal yang demikian itu hanya gara-gara azan. Hanya gara-gara suara azan. Yakni, azan yang dilantunkan dengan suara yang buruk. Walau, sang muazin memiliki niat yang baik, niat yang lurus, niat untuk menegakkan kalimah Allah di negeri orang kafir. Ini cerita sangat penting untuk kita renungkan bersama sebab banyak di antara kita memiliki niat yang baik, lalu mengaktualisasikan niat tersebut dalam perbuatan, tetapi justru akibatnya berbanding terbalik dengan apa yang diniatkan.
Hati orang itu berbeda-beda, dan apa yang dlisankan tidak jauh-jauh dari apa yang tersimpan di hatinya. Ada orang yang mudah tersentuh oleh kata-kata bijak bestari, di mana dadanya bergetar menangkap kebenaran dari kata-kata bijak bestari tersebut. Tetapi, ada orang pula yang tidak mudah tersentuh oleh kata-kata indah. Seorang kekasih bisa terbius oleh kata-kata yang sangat romantis. Tetapi, ada pula seorang kekasih yang menganggap “lebay” pabila dia mendengar kata-kata romantis yang diucapkan kekasihnya. Lalu, ada orang yang akan segera memperbaiki dirinya pabila dia mendengar nasihat, petuah, dan kritik yang dilontarkan kepadanya, tetapi ada juga orang yang justru semakin buruk tabiat dan perangainya justru ketika orang memberikan nasihat, petuah, atau bahkan kritik kepadanya.
Banyak pengalaman yang saya dapatkan dari orang-orang seperti itu. Lingkungan di mana saya tinggal sekarang ini terkenal sebagai lingkungan yang islami. Toh, ada juga pemuda-pemuda yang suka mabuk-mabukkan. Seorang ustadz kebetulan memergoki sekelompok pemuda yang bermabuk-mabukan itu, lalu sang ustadz berusara lantang dengan mengutip ayat al-Qur’an yang mengatakan:


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS. Al-Maidah: 90).


Ustadz itu berteriak, “Kalian telah melakukan perbuatan setan. Tidak pantas kalian disebut sebagai muslim. Tempat kalian nanti di akhirat adalah neraka!”
Aduh, betapa keras sang ustadz dalam menasihati para pemuda itu. Mungkin ustadz lupa bahwa yang diteriaki dengan nasihat itu orang-orang yang tengah mabuk. Orang yang mabuk tak mempan dengan nasihat apa pun. Orang yang mabuk akan senang dengan apa yang disenanginya sendiri. Jangankan nasihat seperti itu, bahkan bila Tuhan sendiri yang menasihati mereka, bisa jadi mereka hanya akan tertawa-tawa!
Nasihat tersebut memang baik.
Memang harus.
Memang mesti demikian itu.
Kita harus meneriakkan anti terhadap dosa dan kemaksiatan. Kita harus perangi kemungkaran. Kita harus tegakkan kalimah-kalimah Tuhan. Tetapi jangan lupa….jangan lupa! Berdakwah itu memerlukan teknik. Perlu metode. Perlu strategi. Tidak boleh asal-asalan menjeritkan atau meneriakkan kebenaran walau yang diteriakkan memang benar-benar benar. Kata nabi, “Katakan yang hak walau terasa pahit!” Perkataan nabi ini memang benar. Tetapi tidak lantas kita tidak menimbang situasi dan kondisi kapan dan di mana kita bisa mengatakan hal yang demikian itu.
Ada kaidah dalam ilmu fiqh yang berbunyi, “Daf’ul mafasid khairun min jalbil mashalih”: Mencegah kerusakan itu lebih baik daripada membuat kebaikan. Kita ingin mengajak orang berbuat baik, menghindari dosa dan maksiat. Ini memang ajakan yang baik. Tetapi, bila kita tidak menggunakan teknik, cara, kiat, atau strategi yang tepat, ajakan kita bisa jadi akan sia-sia. Lebih dari itu, ajakan kita bisa jadi justru akan membuat orang lari dari kita, menjauhi kita, membenci kita.
Seperti pemuda-pemuda yang mabuk tadi.
Setelah mabuk, mereka justru menjadi benci kepada ustadz tersebut. Mereka tidak suka diteriaki seperti itu. Mereka tahu bahwa mereka memang mabuk, bahwa mereka melakukana dosa atau kemaksiatan. Tetapi mereka tidak mau diteriaki seperti itu. Mereka masih punya harga diri. Teriakan sang ustadz menjatuhkan harga diri mereka, hingga membuat mereka membenci ustadz itu. Kebencian mereka tidak hanya pada diri ustadz tersebut, tetapi pada isi dari nasihat ustadz tersebut. Karena kebencian itu, setiap kali ustadz lewat di tempat itu, mereka akhirnya justru mencibir sang ustadz, merendahkan martabat agama. Mereka semakin menjadi-jadi, semakin mabuk, semakin menyenangi kemaksiatan ini.
Demikian itulah kata-kata yang benar, tetapi dilintarkan secara keliru. Sebagian dari kita seringkali seperti itu. Kita memang yakin bahwa apa yang kita lakukan itu benar. Apa yang kita ucapkan itu serius, sungguh-sungguh, dan benar sekali. Tetapi kita hanya menimbangnya sampai di titik ini saja. Kita lontarkan kritikan pedas pada orang yang keliru. Kita buruk-burukkan orang yang memang tengah berperilaku buruk. Kita hina sebuah perbuatan buruk yang dilakukan seseorang tanpa menimbang rasa yang dimiliki oleh orang yang buruk tersebut. Kita membabi-buta menyampaikan kebenaran pada orang-orang yang kita anggap menyimpang. Menyimpang dari agama, menurut kita. Kita cap orang lain sebagai “ahli bid’ah”. Kita hakimi orang lain yang berbeda dengan kita sebagai “ahli khurafat”, “suka berbuat maksiat”, “percaya pada takhayul”, “tukang mengkultuskan individu”, dan sebagainya. Kita “babat” sana-sini untuk “menawarkan” kebenaran yang kita yakini. Kita tunjukkan di mana keburukan-keburukan orang di hadapan orang itu demi menunjukkan di mana kebaikan kita. Kita lakukan hal yang demikian itu dengan harapan orang itu mau membebaskan keburukannya dan mengikuti kebaikan kita.
Tak cukup dengan itu, kita hancurkan orang-orang yang menurut kita sudah tidak lagi mempan dinasihati. Kita rusak tempat-tempat maksiat. Kita pukul dengan tongkat orang-orang yang ada di dalamnya. Kita bom sana-sini agar orang lain mengetahui bahwa kitalah yang benar dan merekalah yang keliru.
Oh, kita sudah menjadi preman dengan cara seperti itu!! Kita preman sebab kita “memaksa’ orang lain untuk mengikuti kehendak kita, walau kehendak kita itu baik dan benar. Sekiranya mereka tidak mau mengikuti kita, kita halalkan cara-cara kekerasan kepada mereka. Kita menjadi preman yang mengatasnamakan agama!
Akibatnya apa?
Akibatnya, banyak orang justru tidak merasa tersentuh dengan cara-cara kita. Sebaliknya, banyak orang justru mencibir kita.  Banyak orang justru merendahkan kita. Banyak orang justru menjadi takut dengan kebenaran yang kita usung. Islam dianggap sebagai agama kekerasan. Dianggap sebagai agama yang mengedepankan pedang daripada kebenaran. Dianggap sebagai agama yang mengentalkan ekstrimisme.
Makna Islam yang sejati pun tenggelam. Islam sebagai agama rahmat berubah menjadi Islam sebagai agama penghujat dan agama tukang mengumpat. Tujuan kita yang ingin mengajak orang lain agar menerima kebenaran Islam, justru menghasilkan akibat berupa munculnya kebencian mereka terhadap Islam karena cara-cara kita yang tidak santun!!
***
Mahabesar Allah SWT yang telah berfirman:


Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali Imran: 159).


Berlaku lemah lembut, inilah kunci keberhasilan mengajak orang untuk kembali kepada Allah. Bukan dengan cara kasar, keras, apalagi mencaci-maki. Sikap keras dan hati yang kasar akan menjauhkan seseorang dari kita. Seperti halnya orang bisa jauh dari kita sebab kita tidak bisa menjaga lisan kita. Kita tidak bisa menjaga kehormatan lisan kita. Kita menghalang-halangi orang untuk mendekat kita karena lisan kita.
Dan ternyata, tidak hanya lisan yang memyemburkan kata-kata buruk, jelek, jahat, dan berdosa saja hingga bisa menyebabkan orang menjauhi kita. Kata-kata baik yang disampaikan secara tidak baik ternyata mampu membuat orang lari dari kita!
Ingatlah bahwa ketika kita berbicara dengan seseorang, kita tengah berbicara dengan hati, pikiran, dan perasaannya. Kita tidak berbicara dengan patuh, dengan lukisan, dengan batu, atau dengan tanah. Kita menghadapi orang yang memiliki hati, pikiran, dan perasaan. Seburuk-buruknya seorang manusia, dia masih memiliki hati, pikiran, dan perasaan yang dapat dia gunakan untuk mempertahankan harga dirinya. Bukan dengan cara merendahkan dirinya pabila kita hendak mengajaknya menuju kebenaran. Bukan dengan cara mencacinya pabila kita hendak mengajaknya menempuh jalan kesucian. Dan bukan dengan cara meneriakinya dan menyalah-nyalahkannya pabila kita hendak mengentaskannya dari dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Sebaliknya, sentuhlah hatinya dengan kata-kata yang lembut, tetap menghormatinya sebagai sesama muslim, sabar, dan sepenuh cinta kasih.
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun