Maaf, aku membuatmu menunggu untuk mendengar ceritaku tentang Gentlemen Broncos. Awalnya aku tidak begitu memperhatikan. Namun ada beberapa scene yang menarik perhatianku, yang kemudian memaksaku untuk menuntaskannya. Akhirnya kusimak dialog demi dialog hingga scene terakhir.
Sepintas memang tidak ada yang menarik dari film ini. Kita disuguhi karakter tokoh dengan kekonyolan masing-masing. Tapi menurutku tidak sekonyol sinetron-sinetron di tv kita. Entahlah, setidaknya ini hanya pendapat subyektifku tentang film yang berkisah tentang seorang pria bernama Benjamin Purvis.
Melalui kabar ini aku tidak bermaksud untuk membahas simbol-simbol verbal maupun non verbal dari keyakinan agama yang mereka anut. Kau pun bisa menebak dari nama tokoh atau bahasa non verbal lain yang dipertontonkan.
Ketertarikanku bermula dari Ben, sosok pria dengan keterampilan uniknya menulis karya fiksi ilmiah. Dia mengikuti sebuah pertemuan bersama seorang penulis idolanya, Ronald Chevalier. Bisa dianggap sebagai ajang konsultasi penulis pemula. Dia bersama penulis-penulis lainnya mengirimkan naskah terbaiknya.
Kenyataan lain terjadi, Chevalier yang suka dengan karya Ben mengedit dan merubah hampir seluruh tulisan Ben. Kemudian naskah tersebut diterbitkan atas nama dia sendiri. Hal buruk lain pun terjadi. Karena keluguan Ben, dia menjual naskahnya untuk dijadikan film oleh temannya sendiri yang baru dikenal di pertemuan tersebut. Lebih parah yang dia kira, film itu jauh dari tulisan Ben. Bahkan Ben dituduh sebagai plagiator karya Chevalier.
Sebetulnya menurutku lebih baik kau simak sendiri kisahnya. Ben menulis dengan tokoh imajinasinya yang tak lain adalah ayahnya sendiri yang sudah meninggal. Sosok yang dia anggap sebagai pahlawan dalam kehidupannya. Dan ending cerita ini lebih haru daripada film bergenre tragedi atau romantik. Ibunya, Judith, ternyata menjadi pahlawan Ben. Dia sudah mengumpulkan naskah-naskah yang ditulis anaknya. Bahkan sejak Ben berusia 7 tahun. Naskah-naskah Benjamin Purvies sudah terdaftar diWriters Guild of America.
Akhirnya aku hanya ingin mengabarimu tentang sebuah kehendak untuk menjaga orisinalitas sebuah karya. Bagaimana pula kita bisa menghargai hasil karya orang lain. Terlebih menjaga etika kita dalam menulis yang mungkin pula dapat menjadi inspirasi anak cucu kita.
Seorang penulis akan mencari keunikan-keunikan yang khas atau kekonyolan-kekonyolan yang menarik, namun bukan berarti tidak mengindahkan etika ilmiah atau etika budaya bangsa.
Buitenzorg, 23092014, 22.25
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI