Sebuah Esaikrostik
Telah banyak analogi tentang kehidupan. Ia banyak diibaratkan dengan perjalanan. Bagi saya, kehidupan adalah samudera. Samudera yang membentang seluas cakrawala. Kita berlayar di samudera itu hendak menuju ke mana? Ke dimensi cakrawala mana kita akan mengarahkan perahu kita? Akankah kita menghentikan kayuhan dayung atau mesin kita di tengah samudera? Ataukah kita akan terus mengarungi samudera tanpa henti?
Ada sebuah tujuan yang tentu ingin dicapai dari sebuah perjalanan. Sebagaimana berlayar di samudera pun memiliki tujuan.
Rasanya tidak perlu muluk untuk menetapkan tujuan hidup. Sebab kematian akan datang menjemput. Maka tujuan akhir kehidupan dunia fana ini adalah kehidupan abadi, kelak.
Gading akan ditinggalkan oleh gajah, belang akan ditinggalkan oleh harimau, lantas apa yang akan kita tinggalkan nanti? Inilah yang menjadi target hidup kita sekarang.
Episode kehidupan itu sangatlah singkat. Dari setiap hela nafas yang kita hirup, setiap detik yang kita lalui, hingga bertahun-tahun kita menjalani kehidupan, adalah sebuah waktu yang relatif singkat. Bahkan sebuah ungkapan menyebut bahwa hidup ini hanya mampir untuk minum kopi.
Tentunya dari ungkapan itu memiliki makna yang sudah kita mafhum bersama. Betapa singkatnya kehidupan. Usia memanjang, namun justru sebaliknya, hidup semakin pendek menjelang kematian.
Ibarat dan peribahasa lain banyak sekali mengumpamakan kehidupan. Saat ini saya hendak mengatakan bahwa dalam kehidupan yang singkat inilah kita mesti memiliki target. Sementara tujuan hidup bagi umat beragama tidak perlu kita bahas secara panjang lebar.
Target adalah sesuatu hal yang perlu kita tentukan dengan perencanaan maupun tanpa rencana sama sekali. Karena ada ungkapan lagi yang mengatakan mengalirlah seperti air mengalir. Apa artinya?
Ungkapan hidup seperti air mengalir bukan sebagai perjalanan musafir atau gelandangan yang tiada tentu tujuan. Karena tujuan kita sudah jelas dalam keyakinan ajaran agama masing-masing. Hal yang sering terlupa adalah target apa yang hendak dicapai.