[caption caption="Pantai Tanjung Ann, 30 Maret 2016"][/caption]Saat matahari mulai tenggelam, aku tiba di kotamu. Aku bergegas melintasi lorong-lorong bandara. Langkah kaki berpacu dengan kehendak segera bertemu denganmu. Ingin rasanya segera keluar dari bangunan itu. Selangkah lagi menuju pintu, aku melihat kerumunan orang di halaman sana.
Arrgghhh...kau dimana, kawan? Aku tidak melihatmu. Beberapa diantara orang-orang itu mengacungkan kertas bertuliskan nama. Mataku beredar, tidak ada namaku tertulis disana. Aku tertawa dalam hati. Kau tidak mungkin menjemputku disini. Ada diantara mereka yang menawarkan jasa untuk mengantarku ke tempatmu. Tapi aku memilih berjalan terus mencari ruang bebas dan sepi.
Syarafku mengeluarkan perintah untuk menghentikan langkah. Aku berdiri tegak sambil merentangkan tangan, menghirup udara malam kotamu. Kuhembuskan seiring niat mengusir penat dari rutinitas keseharian di kotaku.
Kawan! Aku tahu kau menungguku disana. Maaf jika malam ini aku memutuskan menginap disini. Kepalaku pusing. Mungkin karena otakku masih berisi sejumlah angka dan data dari memori rutinitas di kotaku. Barangkali pula karena kondisi tubuhku tidak sehat. Makanya aku memutuskan tidak segera menemuimu.
***
Pagi yang cerah menyambutku. Seiring reaksi ramuan farmasi yang kutelan, sisa penat perjalanan dan pusing di kepalaku lambat laun menghilang.
Dua jam sebelum matahari menuju puncaknya, aku keluar dari hotel. Kubuka peta digital. Kureka-reka rute perjalanan, jarak tempuh, dan kendaraan apa yang akan membawaku ke tempatmu.
Subhanallah! Kekagumanku tak henti sepanjang jalan. Pendar-pendar ceria mulai menyentuh otakku. Senyuman ramah dan logat khas kudengar dari orang yang menjawab pertanyaanku saat bertanya arah jalan yang harus kutempuh. Kupacu lagi laju kendaraan yang kusewa. Tak sabar rasanya ingin segera menemuimu.
Kawan! Tidakkah kau merasakan kerinduanku ini?
Sebuah kabar yang barangkali mewakili perasaanku saat itu sudah kulayangkan. Kutitipkan kabarku melalui serat frekuensi yang terpancar melalui signal telepon seluler. Entah kenapa kau menjawab datar. Patahan kalimatmu mematahkan rasa rindu.
Aku lupa, aku sering alpa. Memilih jalan yang tidak seharusnya. Padahal kau sudah menunjukkannya. Pertanyaanku setiap waktu seolah tiada jawaban.[i]