Laut menghempas rindunya pada sisi malam yang perak di pinggir kota tua.Â
Dia, penyair itu, bagai menata serpihan buih buih yang akan jadi hujan. Kapal kapal membawa bayang dari pikirannya.Â
Di sini kota telah ditumbuhi besi dan kawat virtual. Seperti bunga pagi yang diam di antara jendela jendela hotel.Â
Tak ada buku sejarah dan sosiologi atau rumus rumus logaritma yang mungkin dapat mengukur jarak senja yang segera tiba.Â
Di balik jalan jalan yang riuh ke halaman depan rumah, masing akan pulang, untuk mematut wajah. Lalu menyalin kembali serat serat cahaya dalam pecahan waktu yang akan pekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H