Beberapa penyair hanya sempat membuat puluhan puisi dan kemudian menjadi rujukan. Sebagian lagi mungkin ratusan dengan waktu yang panjang.Â
Konon, sang legenda chairil, hanya memiliki 90an puisi. Namun puisi puisinya begitu hidup dan ekspresif serta mewakili zamannya.
Saya berasumsi, bqnyak puisi puisi chaitil yang ditulis dengan lugas (dengan cepat namun dengan pendalaman yang terukur). Katakanlah, seperti puisi singkatnya, "Nisan" yang dia khususkan  atas wafatnya sang nenek tercinta. Begitupun "Senja di Pelabuhan Kecil" atau mungkin "krawang bekasi".
Emha atau Cak Nun, termasuk yang mengakui kemungkinan memulis puisi dengan konsep free writing, cepat dan spontan. Walaupun demikian tetap memberikan kesan dan makna.
Menurutnya, dalam free writing untuk menulis puisi, walau tampak spontan dan sembrono, tetap melewati tahap pengalaman yang mengendap, impresi dan pembangunan imaji, pemilihan diksi dst.
Tentu tidak semua puisi bisa ditulis dengan spontan. Sebagian butuh riset dan semacam pertimbangan.Â
Selevel Jokpin, pernah mengendapkan puisinya hingga tiga tahun sampai menjadi buku. Selebihnya mungkin sebagian dia selesaikan sambil tidur dan sambil berada di kamar mandi.
Bila kita beralih ke Rendra atau Taufiq Islamail, mungkin tak banyak puisi mereka yang ditulis dengan spontan tanpa perenungan yang lama. Walaupun konsep lama dan tidak itu relatif juga.
Umumnya konsep free wriring dalam menukis puisi bisaberlangsung beberapa menit atau jam saja. Atau bisa juga sehari dan dua hari bila butuh pengayaan variasi.
Bagi saya, atau bila kita merujuk ke model puisi Malna, konsep free writing dalam puisi berupaya untuk membangun peristiwa dan ruang imaji yang hidup, aau absarak dan liar (boleh juga jenaka dan satire).
Hal itu dimnculkan dari pilihan diksi yang spontan dan berupaya menghindari klise dalam pemilihan diksi. Untuk itu, penyair terap bertugas menjadi pembangun idiom baru dan memperkaya khazanah istilah budaya bahasa.