Apa yang Membuat Mie Aceh  lezat Disantap?
====
Secara budaya pop, mie Aceh semakin dikenal setelah peristiwa tsunami. Begitu yang saya amati. Hal itu karena seketika Aceh menjadi perwajahan dunia multikultural.Â
Banyak nilai nilai lokal yang berubah karena faktor ini. Begitupun dari segi kulinernya, menjadi akrab di bibir dan telinga, dan sekaligus kopi Aceh.
Warung Mie Aceh, orang luar menyebutnya begitu, banyak dijumpai di hampir setiap lokasi di Aceh. Juga demikian di beberapa daerah selain Aceh seperti Medan dan Jakarta atau bahkan Malaysia.
Banyak yang merasa ketagihan bila sudah mencicipi khas mie Aceh. Tentu bila diracik dan dimasak oleh yang ahlinya. Minimal, yang meracik dan memasaknya itu pernah bekerja juga di warung mie Aceh. Sehingga rasa otentiknya melekat di lidah.
Dalam kultur warga Aceh sendiri, membeli mie Aceh telah biasa dan rutin. Mereka sering menyebut mie kuning. Harganya  bervariasi, dari 7K saja hingga puluhan ribu tergantung komposisi mienya. Misal, pakai telur, daging atau seafood.
Umumnya yang tersedia adalah mie goreng dan mie rebus. Ada juga yang memesan mie goreng basah, bukan tumis kering (tentu tanpa kuah).
Saat penjualnya memasak mie instan, sebagian masih menggunakan bumbu mie khas Aceh. Sehingga rasanya akan nendang dan berbeda dari rasa pabrik.
Kemarin ketika saya di Medan dan membeli bumbu mie Aceh, seorang pedagang keturunan India berkata: Aha...India punya bumbu, Aceh punya nama. Begitu celotehnya. Bisa saja ungkapan itu ada benarnya karena Aceh bersinggungan dengan budaya india.
Jadi tentu saja, yang membuat beda mie Aceh adalah pada bumbunya. Selintas, bumbu dasarnya sama deengan mie nasional.
Hanya saja, mie Aceh menggunakan bumbu yang sudah digiling, kadang dicampur juga dengan rempah lain seperti daun temuru, parutan kelapa khusus atau lainnya, yang bernuansa kari.Â