Selepas tengah malam, ia masih diam. Menatap lekat ke arah depan. Kosong dan hitam.Â
Ada baris baris pohon kelapa dan pinang berjajar. Sisa hujan masih menjalar. Angin merambat. Tak banyak orang orang yang lewat.
Di gubuk kecil ini ia selalu sendiri. Menunggu hujan adalah kesenangannya. Tak banyak yang tahu kisahnya. Tak seorangpun yang bisa mengungkap sembab di balik matanya.
Saat bercerita suaranya pasti selalu hilang. Saat hujang datang ia jadi riang. Ia  bisa berteriak keras dan memandang langit.
Orang ramai yang melihatnya tak.akn peduli lagi. Katanya, keluarganya telah dimakan ombak dalam satu perjalanan kapal dalam satu gelombang yang besar.
Ia menggambar kisah itu di atas tanah liat dekat gubuknya. Konon, tanah di sini adalah milik neneknya.
Dan hujan, hanya itu yang paling ia tunggu. Setiap kali arakan awan berubah ia langsung bersikap menengadag ke langit, mengharap hujan turun. Tapi tak ia ucapkan.
Sering ia tidur sesukanya di atas trotoar di saat malam merangkak. Ia biarkan hembusan mobil mobil besar menghantqm sepinya.
Ia menunggu hujan jatuh malam ini. Mungkin hujan itu menitikkan satu rindu yang sangat penting yang tersimpan dalam lorong jiwanya.