Menulis adalah wacana peradaban. Bahkan telah menjadi bagian dari peradaban itu sendiri.
Semua sejarah dimulai dari menulis. Dimulai dari tulisan. Itulah sebabnya ada Kitab Suci. Ia sebagai panduan dasar yang asli, sebelum sebagiannya diubah atau direduksi sesuka hati.
Kita membutuhkan kemampuan menulis bukan karena faktor skolastik semata. Namun lebih dari itu, semua rangkaian dan tautan informasi hanya dapat disentuh lewat tulisan atau gambar dan video.
Bahkan tulisan tetap menjadi bakal utama segala narasi kebudayaan. Dalam dunia industri, mungkin tulisan telah dikapitasi dalam ragam bentuk dan tujuan materialisme.
Tulisan tadi beralih rupa dari sekadar ekspresi, lalu menjadi jembatan pembujuk yang paling halus dan juga mungkin sadis.
Semua berlaku sesuai pengalaman si penulisnya. Semua Interaksinya dengan metakognisi pikiran dan sumberdaya lingkungan akan memengaruhi karya penulis.
Dari sini kita mungkin bisa membedakan mana yang betul betul dianggap sebagai ajaran murni dan sejalan dengan fitrah akal kehidupan. Atau kita bisa membedakan karya karya yang hidup dari pikiran yang sehat dan utuh
Semua akan tampak. Apakah tulisan itu berupa kehampaan semata atau berisi kekuatan dan kesadaran. Tulisan itu akan mengikat kita secara kosmik.
Dalam praktik secara individual, menulis sebenarnya bisa merawat pikiran agar tetap otentik. Pikiran subjektif.
Namun subjektifitas itu yang tidak otonom. Karena pikiran pikiran itu bergerak bebas sesuai hembusan pengalaman dan perseepsi persepsi.
Maka di sini, akal tidak bisa melampaui Wahyu. Akal mesti tunduk pada skala tertentu, sebagaimana mata yang juga terbatas. Ada aksioma aksioma yang tersembunyi di balik realitas.