Hampir saban waktu aku melihatnya. Melintasi pinggiran kota, dengan motor dan becaknya. Sendiri.Â
Sering tubuhnya terimbun oleh kardus kardus bekas yang  ia kumpulkan sepanjang jalan. Dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. sepanjamg waktu.Â
Tubuh, Â wajah, Â pakaian dan penampilannya tampak begitu legam oleh debu, kusam dan kumal. Matanya keruh. Rambutnya keras. Belakangan dia sempat bermain HP juga, saat ia antre makanan.Â
Sesekali ia tampak makan di warung, mungkin tidak bayar. Di warung nasi dan gerai jus itu, dia setiap pagi membawa sampah ke pembungan.Â
Tumpukan sampah itu ia bawa dengan becak tuanya, bersama aroma bau dari sampah tadi.Â
Aku tak tahu kisah lainnya. Apakah dia sudah berkeluarga, memiliki tempat tinggal, beribadah selazimnya orang orang disini. Aku tak tahu.Â
Karena yang kutahu ia terus menerus memulung kardus dan sejenisnya, dari pagi sekali hingga akhir senja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H