Menunggu Hujan
Dia duduk sendirian,
tepatnya seorang lelaki, seorang anak lelaki, duduk di halaman rumah yang sepi.
 Dari jauh ia mendengar suara kereta api. tapi ia tidak mengerti apa itu kereta api.ia juga mendengar suara suara di kepalanya, suara ingin, suara lapar dan haus. suara harap dan takut. tapi kadang, suara suara itu bergetar dan kadang sulit ia ungkapkan. ia mengenal suara kapal terbang. tapi dia tidak tahu apa itu kapal.apa itu terbang. apa itu gaya. dan apa itu fisika.
Mungkin suara yang paling ia ingat adalah suara ibu dan ayahnya, oo, tapi ayahnya jarang di rumah. ia lama tak bermain bersama ayahnya. ia sering bermain bersama pikirannya. bermain bersama bayangannya.
Dia sering berkejaran dengan sepi yang berbaris baris. lompatan lompatan sinapsis di batang otaknya yang begitu cepat, tangisannya seperti tanpa suara.
Ya, Â ia sering bermain sendiri. diam dan dalam. interaksinya hanya bayangan. sesuatu yang berat ia terjemahkan.
Seorang anak lelaki tadi masih duduk. melipat lipat kertas. menoleh ke sana ke sini. bermain bersama orang lain belum dapat ia mengerti, ia hanya mengerti penerimaan. refleksi sosialnya beban belajar yang panjang dan spontan. kelas kelas masih kosong merekam pikirannya.
Persahabatan mungkin membantunya sekali waktu. tapi bagaimana ia dapat terus membuat keputusan, pilihan dan kemandirian dalam ekspresi hidupnya: mengenali diri, Tuhan dan Nabinya? :oh. mungkin yang barusan adalah hal lain.
Pernah sekali waktu, kuminta lafalkan potongan surat Arrahman, dan ia tunaikan. Dengan berat, tangan dan suara nada yang tak terkontrol, dan mata yang kesana kemari. Tapi suaranya merdu. Seperti isi surat Arrahman: masihkah kamu mendustakan nikmat Tuhanmu?
*****
Lelaki tadi diam, ia membayangkan wajah ibunya  yang tenteram, seperti memanggilnya. ia berlari ke halaman yang kosong, tanpa rerumputan, tanpa tanaman bunga, hanya pepasir dan batu batu kecil:  ia berlari sambil menunggu hujan. menunggu lambaian.