Surat Musafir: Aku Berjalan di Tepian
waktu telah membusungkan dada
aku berjalan perlahan
di sebuah tepi
entah takut dan ragu
kulewati halaman pagi
sejuk dan jenaka
dalam cengkeraman kaki bukit
dan kolam kolam bening
lampu lampu kota
selalu menyilaukan
godaannya kini dalam
selembar maya
menjangkau tepi dan sepi
yang lain, yang lebih menikam.
hujan turun dengan tajam
menimpa bangunan bangunan kosong
menimpa tubuhku
yang berjalan di tepian.
dalam selembaran daun
aku mencerna serat serat tanah
di andalus, tepi giblartar
atau iraq dan sungai nil
sampai ke pengepungan hulangu khan
dan kunikmati rempah dan gairah nusantara, warna asia dari silsilah Yafez anak Nuh.
aku melihat tiang tiang dirobohkan
dan orang orang berlarian diantara
bayangnya.
waktu telah membusungkan dada
menatapku yang berjalan di tepi,
ada sungai dan taman taman kecil,
ada kilatan cahaya, temaram senja
yang sabar dan lutut yang gemetar
aku berjalan di tepi, walau tak sampai ke mahakam dan musi, tak menetap di lingkungan maimun,
namun kurekam tapak sepi sepi, sambil melafal selaksa ramuan makrifat dari pecahan hujan dan sisa kemarau.
dari sini mataku
menjangkau istana iskandar muda
dan seakan menyimak rihla batutah