Santri 5.0, Bagaimana Aplikasinya?
Sejarah telah mencatat bahwa kaum santri bukanlah kaum puritan dan pinggiran. Kaum santri menjadi pelopor dari setiap fase perubahan bangsa. Santri, baca : dunia kependidikan Islam telah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, dari coraknya yang asli, konservatif, klasik, ke  modern dan adaptif.
Eksistensi kaum santri dalam maraknya sekolah (umum) versi Belanda, telah menjadi catatan bersama, Â bagaimana prinsip kesantrian dapat langgeng dalam zaman apapun. Kaidah klasiknya adalah:
"memelihara konsep lama yang relevan tanpa mengabaikan konsep baru yang lebih baik".Â
Dengan prinsip sederhana ini, (dan prinsip Islam secara umum), kaum santri dapat selalu aktif dan dinamis dalam menyikapi perubahan zaman, baik secara ideologi apatah lagi secara teknologi.
Secara prinsipil santri hanyalah sebutan bagi prbadi yang mendalami agama Islam dengan sumber sumber yang autentik dan tidak menyebelahi realitas kebudayaan yang berubah. dan di poin inilah kehidupan santri yang sejuk dan egaliter itu diuji. adapun kepatuhan normatif pada kiyai dan ustz adalah kaidah lain dengan landasan sendiri dalam tradisi Islam.
Dalam kaitan ini, saat memasuki era 4.0, sejatinya kaum santri telah memprertimbangkan kelengkapan skill berbasis digital dan ekonomi-industri serta  menjawab persoalan persoalan baru dengan tepat.
ini sebagai dasar awal untuk menghadapi gelombang masyarakat 5.0 yang lebih terkoneksi, dinamis, tanpa sekat dan rentan terhadap intrik intrik kepentingan jangka pendek.
Pada fase ini, industrialisasi dan kapitalisasi sumber daya menjadi bagian kerja ekonomi yang paling besar. Termasuk pelayanan jasa berbasis digital dan rentan terhadap paham konsumerisme, hedonis dan apatis.
Sehingga kaum santri tidak hanya bertanggung jawab terhadap kesiapan dirinya secara personal, namun menjadi penyeimbang dan sekaligus katalisator kearifan masyarakat dalam menghadapi zaman yang semakin terbuka.