Mohon tunggu...
Taufiq Sentana
Taufiq Sentana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan sosial budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi pendidikan Islam. peneliti independen studi sosial-budaya dan kreativitas.menetap di Aceh Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Analisis Ringan: Tiga Daya dalam Puisi

16 September 2021   16:22 Diperbarui: 16 September 2021   16:26 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok.unair.com.ilustrasi

Tiga daya yang penulis maksud yaitu:

Pertama, Daya Ungkap. Umumnya puisi puisi yang berhasil secara komunal (pada komunitas tertentu) dan historis, fakta empris, adalah puisi yang berisi daya ungkap yang kuat dan tajam serta kontekstual terhadap kondisi zamannya. Itu yang diresapi  Chairil setelah jemu" dan lirisme yang klasik-monoton, tanda gugah dan daya ungkap metafor yang baru. Kekayaan Sapardi, juga dalam hal ini, membangun citra puisi yang khas.

Kedua, Daya Pikat:
Ini semacam hirarki dari poin pertama, walau tidak persis berkaitan. Bagian ini tergantung pada sifat kebaruan, kreativitas dalam membangun struktur dan perspektif terhadap sesuatu. Misalnya, sungai. bisa diekspresikan secara impresionis ataupun ekspresionis, atau bahkan dengan ikatan diksi yang relatif bebas dengan narasi lepas untuk maksud tertentu. Disini dipertimbangan tidak hanya diksi, tapi irama, permainan antarkata, ironi, atau hal lain yang membangun "kejut" di benak khalayak.

Ketiga, Daya Jelajah:
Bagian ini melanjutkan kerja kreativitas dan inovasi dan teknik baru dalam menyajikan puisi. Baik secara radikal ataupun secara konseptual (sejalan dengan norma puisi). Apa yang dilakukan Malna, misalnya, tidak memiliki ruang normatif yang bebas sebagaimana puisi puisi Malna. Sehingga walaupun Malna dianggap sebagai penyair besar, senior, tapi belum bisa menjadi warna seperti Chairil, Tardji atau Sapardi dan lainnya, itu menurut Jokpin pada satu ulasan tentangnya.

Namun, penyair mesti selalu memberi ruang bagi dirinya untuk terus belajar dan bereksperimen. Agar fungsinya untuk menghidupkan bahasa berjalan dan tugas sosialnyapun bisa dia emban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun