Proses Kreatif: Bingkai Peristiwa dalam Puisi Semangkuk Soto
"Kembali ke kenangan yang kumaksud tadi, semangkok soto itu mewakili peristiwa pagi yang paling akrab dan hangat."
Kutipan di atas merupakan isi puisi bait keempat tentang semangkuk soto yang penulis sajikan sore tadi. Puisi itu memang saya sengaja untuk rubrik pilihan yang ditawarkan Kompasiana khusus hari ini. Sebelumnya saya tidak pernah ikutan.
Kenapa saya pilih puisi? karena saya tidak punya kompetensi dan pengalaman khusus perihal kuliner Soto Nusa ini.
Jadi saya pikir dengan teknik puisi momen tawaran Kompasiana tetap bisa saya eksplor. Maka jadilah puisi yang dimaksud. Linknya disini, coba telusuri:
Proses kreatif:
(1)Â
Puisi itu melewati inkubasi yang sedang, sejak pagi tadi menggelayut di pikiran dan abstraksi. Tapi tidak utuh. Hanya semangkuk soto dan upaya mencari pengalaman yang paling autentik. Saya belum dapat runutnya.
(2)
Akhirnya muncul gambar mental dan kesan jauh dari tokoh di sekitar saya pada awal mengabdi dulu, tahun 97 sd 2003 di Aceh Utara, Lhokseumawe sekarang. Pengalaman itu yang paling khas dan dalam, serta jauh mengendap, tak pernah saya eksplorasi apalagi dikapitalisasi, he he..
(3)
Maka di bait pertama saya awali dengan:
//Kenangan ini kuambil jauh
pada mulanya. sekitar tahun 97an, 24 tahun yang silam//.
Saya memulai bait ini menjelang senja tadi, sekitar 40 menit selesai, setelah mengendap-mengabstaraksi secara acak dari pagi.
(4)
Agaknya saya tidak berat menuntaskan puisi yang direncanakan itu. Mungkin karena, saya sudah menangkap peristiwa, pengalaman, dan struktur batinnya (makna-pesan), seperti dalam poin 2 di atas. Saya tinggal meracikya secara bebas, karena diterbitkan di blog sendiri" he he...
Mungkin beban saya adalah, puisi itu berkesan dan bermakna atau tidak?: pada titik ini yang berat. Disamping saya mesti menunjukkan kenapa kenangan semangkuk soto itu penting, walau tidak bombastis, nilai pentingnya mesti ada, karena bagian dari jawaban dari judul.
Seperti bait ketujuh:
//Mungkin ini sepele, tapi kenangannya melekat: kami makan soto pagi di kedai Batu Phat Lhokseumawe, sehabis Beliau mengisi Ceramah Subuh di Masjid Istiqamah  Arun.//:
 Karena Beliau pimpinan, tidak selalu ada yang beliau ajak serta dalam kegiatannya di luar secara pribadi.
(5)
untuk maksud itu, saya sampai 4 kali mengedit puisi tersebut, setelah utuh. Saya mematut beberapa diksi agar layak sebagai puisi naratif, naratif murni dan ringan. Tanpa diksi yang ketat dan tiada metafor yang mencolok, atau tanpa metafor, karena saya sampaikan seadanya.
 Ya, ada beberapa daya ungkap yang penulis susun agar stabil dan impresif.
(6)
Adapun hal lainnya, puisi kenangan tentang tokoh yang saya maksud, Â sejalan /satu sejarah dengan PESTA nikah anaknya pada hari ini, anaknya yang dulu masih begitu imut imut.
Demikianlah, sekelumit proses dasar bagaimana puisi tentang semangkuk soto dapat saya hadirkan ke pembaca Kompasiana. Puisi itu hadir setelah meracik kenangan lama, peristiwa, menggali makna dan memilih diksi sesuai kebutuhan.
Salam Akrab Selalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H