Semangkuk Soto dan Kenangan Tentangnya
Kenangan ini kuambil jauh
pada mulanya. Â Sekitar tahun 97an, 24 tahun yang silam.
Walau aku dari Medan, soto mangkuknya tak pernah kunikmati dalam khas hidangan, kecuali Soto Medan ala Mie Instan, jauh sebelum 97 versi rasa itu sudah pasaran.
Mungkin bisa jadi dalil bahwa Soto Medan termasuk soto yang paling" asli, hingga jadi nama suatu produk, selain karena rasa dan kentalnya begitu nabrak di lidah kita.
Kembali ke kenangan yang kumaksud tadi, semangkuk soto itu mewakili peristiwa pagi yang paling akrab dan hangat.
Tak kuingat pasti, mungkin itu Soto Khas Jakarta, Betawi, atau Soto versi Soto Bangsa, rasa nasional. Karena saat itu memang tidak ada label yang tertera di warungnya.
Kenangan tentang apa?
Tentang seorang guru, direktur di lembaga pendidikan Islam Aceh saat itu. Beliau asli Jawa, dia mengajakku makan soto pada  pagi yang cerah. Kami berangkat sebelum subuh dengan Vespa tua.
Mungkin ini sepele, tapi kenangannya melekat: kami makan soto pagi di kedai Batu Phat Lhokseumawe, sehabis Beliau mengisi Ceramah Subuh di Masjid Istiqamah  Arun.
Aku hanya ikut menemani ceramahnya saja, sambil belajar dan menyimak, lalu tertular juga sampai kini:Â
Rupanya, setelah Beliau pindah, akulah yang mengampu pelajaran "Tarbiyah" (pengantar pedagogik versi pesantren modern) yang  sebelumnya ia emban, itulah suratan.