Puisi tidak berdiri sendiri. Ia bukan struktur  kata kata yang dipajang di atas kaca. Bukan kalimat yang melompat dari kamus dan menjelma pengertian semaunya.Â
Dalam bentuk dan muatannya, puisi berdiri di atas pengalaman dan penghayatan. Struktur pada puisi menyimpan gairah, merajut imaji dan membanjiri segala konsep ekspresi ataupun warna sosial dalam kenyataan sehari hari.
Puisi bisa bersifat pribadi, halus tersembunyi, Â atau lantang menggedor pintu nalar. Ada yang menyebutnya puisi kamar dan puisi auditori. Ada yang menyebutnya puisi abstrak dan puisi konkret. Ataupun ia adalah puisi bebas dan puisi naratif. Namun puisi tetap terikat pada diksi, Â pilihan kata dan maknanya sendiri.
Entah itu kearifan,kebenaran atau mainan imaji.
Bahkan puisi bisa menjadi pereda penat, meredam laju hidup yang pesat. Semua tergantung struktur pengalaman massa dan struktur penghayatan si penyair.Idealnya, keduanya bertemu dalam makna dan realitas keseharian.
Kita perlu sinergi dalam merekonstruksi puisi  dengan ragam apresiasi, dari wujudnya yang dianggap sunyi ke wujud yang lebih hangat dan akrab.
Dari celah-celah bilik rumah atau pintu pintu  di sekolah dan di panggung keramaian.Â
Hingga puisi pun dapat menjadi elemen keadaban masyarakatnya pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H