Dalam hadis yang mashur dari riwayat Muaz bin Jabal RA Â disebutkan pentingnya menjaga lisan: "dari sebab lisanlah penduduk neraka itu disiksa", terutama lisan yang mendustakan ajaran para nabi.
Adapun lisan yang terpuji selain karena bersyahadat, adalah lisan yang basah oleh zikir, doa, Â dan mengingat Allah. Lalu diikuti lisan yang digunakan untuk menyeru ke jalan-Nya, jalan kebenaran dan segala bentuk kebaikan yang normatif di masyarakat.
Banyak disebutkan bahwa lisan dapat menjadi penghubung hati dan akal. Dengan maksud ini pula kelak, di mizan, duapertiga berat amal seorang hamba dikarenakan amal lisan.
Sebagian lagi, amalan baiknya berkurang karena sebab dosa lisannya kepada orang lain, seperti ghibah dan fitnah.
Sungguh diperlukan semangat  menjaga lisan ini,  dan saling mengingatkan tentangnya(tawashau bil haq). Bisa jadi kebangunan dan keruntuhan sendi masyarakat adalah karena perkara lisan ini. Baik lisan para pemimpin, pejabat, tokoh publik, kaum cerdik ataupun awam.
Terlebih lagi pada era milenial-digital sekarang, efek lisan itu tidak mesti langsung keluar dari ucapan seseorang,
namun bisa "keluar" dari bentuk tulisan berita, gambar dan video, serta apa yang kita sajikan lewat "jempol" Â kita di lini medsos. Bila kontennya baik, maka kemungkinan baiklah lisan dan hati si pelakunya. Maka kebaikanpun tersebar di masyarakat.
Adapun cara kita menjaga lisan di era medsos, yaitu bukan sekadar tidak menyampaikan berita bohong (fitnah, adu domba dan umpatan). Tapi juga berupaya mengisi ruang medsos itu dengan berita kebenaran, hiburan yang bernilai-guna, tulisan dari jempol yang menambah kebaikan di lembaran amal keseharian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H