Seorang Zakir Naik pun beranggapan bahwa puisi telah kehilangan daya pikatnya. Sebab zaman kita yang saintifik, industrialis dan digitalis telah menakar kembali fungsi keindahan, semula dari kata lalu beranjak ke rupa dan suara.
Walaupun demikian puisi tetap memiliki ruangnya sendiri dalam simbol ekspresi bagi kebudayaan yang dikepung nilai instan dan gairah pop.
Untuk itu puisi-puisi tetap ditulis. Puisi-puisi selalu tercipta. Dan puisi-puisi akan tetap menjadi saksi dari realitas kita: Terlepas apakah ia laku dijual atau sekadar pemantik rasa dan akal.
Terkadang puisi sangat personal dan individual. Tapi puisi mesti bisa melompat ke arena perubahan. Tanpa melulu tersedu, merintih-malu dan bersolek di kamar. Rendra (Alm) menyebutnya puisi "anggur dan rembulan".
Puisi hendaknya menjadi alternatif ekspresi yang paling masuk akal, lembut dan bahkan frontal. Puisi mesti hadir di ruang tamu dan di meja makan, atau di halaman sekolah saat jam- jam istirahat berlangsung, bahkan sebagai hadiah pernikahan!
Meskipun puisi tetaplah menghendaki pra syarat diksi yang ketat, tapi puisi bisa menjadi lentur tanpa kehilangan keindahan dan maknanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H