Aku teringat rumah kakek. Jauh di tahun 80 an. Rumah kecil yang sederhana dengan cerita kecil yang indah.
Aku menyebutnya rumah tinggi, karena bertangga beberapa langkah, dan di bawah rumah itu jadi tempat bermain.
Saat itu kakek menghabiskan waktunya dengan berjualan es lilin, selebihnya mengelola kebun milik orang lain. Di samping itu kakek juga sering mengisi seremoni doa di kampung.
Kami, beberapa cucunya juga selalu mendengar ragam cerita selepas maghrib atau setelah mengaji.Â
Yang unik, kami paling suka meminum teh kakek, kental dan agak pahit. Teh itu ditemani rokok daunnya.Â
Sedang nenek saat itu tidak begitu aktif lagi karena ada gangguan di kedua matanya, tapi di lisan dan hatinya selalu terisi zikir dan hafalan hafalan ayat quran.
Di sekeling rumah kakek banyak pepohonan, terutama kelapa, pisang dan beberapa palawija, ada juga pohon rukam (kami meyebutnya begitu, bagus untuk manisan, saat tua buahnya merah dan menghitam, rasanya memang sangat asam).Â
Yang asyik, di samping rumah kakek ada kolam yang agak luas, ada banyak ikan juga di dalamnya, lama kelamaan memang tidak terawat lagi, mulanya ia sebagai tempat mencuci dan berwudhuk juga.
Di rumah kakek itu kami menetap bersama ayah dan emak juga. Ada dua kamar, ruang tamu yang luas (kami juga tidur berkelambu disini), ada kursi sederhana dan TV khas zaman old.Â
Di hari ahad kami sering membaca koran waspada  yang dibeli ayah, yang memuat cerita anak di ruang tamu itu. Bahkan aku sempat mahir menggambar kartun khas saat itu.
Dapur di rumah kakek juga luas, dengan perabotan yang sederhana, dan tungku tempat memasak yang khas.Â