Cara terburuk menikmati dunia adalah dengan menjadikan dunia sebagai  pusat keinginan kita. Demikian kata sebagian guru. Sikap ini mendorong seseorang menghabiskan waktunya hanya untuk kepentingan perut dan hawa nafsu kesenangan.
Banyak ulama yang tidak mengingkari dunia, dalam arti, mereka mengambil dari dunia seperlu saja. Adapun yang dimilikinya ia keluarkan untuk keperluan orang banyak. Bahkan, dalam Risalah Qusyairiyah, sering disebutkan bahwa para ulama itu memilki pembantu, terkadang pembantu itu dibebaskan oleh karena kesalahannya, bukan dihukum. Ini menunjukkan sikap kemurahan hati dan kelapangan jiwa.
Inilah makna zuhud sebenarnya, bahwa kita tidak terlena oleh kepemilikan dan kita pun tidak hina karena ketidakpunyaan.
Sungguh, kehidupan dunia dan kota yang sibuk telah melalaikan kita dari makna utama dunia. Padahal bisa jadi, kelalaian kita itu karena kebodohan diri dan kesombongan untuk terus belajar. Kesibukan dan kepentingan hidup telah merusak cara kita membuat prioritas dan memilah hal yang utama.
Padahal, bagian dari dunia adalah makan dan pakai.Bila kita telah menyesuaikan porsinya untuk diri kita, maka kita bisa berbagi dalam menikmatinya. Bisa lewat infaq dan wakaf atau lembaga lembaga pendidikan yang menjanjikan "pahala mengalir" bagi siapa yang melakukannya.
Itulah cara menikmati dunia.Mengambil seperlunya dan tidak menguasai hati kita. Nyatalah bahwa kita hanya musafir di tandus dunia, berteduh sesaat dan melanjutlan perjalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H