Judul "Janji di Warung Kopi", menjadi penghubung makna bahwa "banyak hal penting bisa terjadi di warung kopi", tergantung bagaimana kita membawa diri.Â
Menyematkan kata "janji" sebagai bentuk sakralnya warung kopi dalam tradisi moderen kita: Bisa saja seseorang sering berkunjung ke warung kopi, tapi ke Masjid, rumah ibadah, ia jarang pergi.
Dari segi pemilihan diksi dan gaya bahasa, penulis berusaha memilih kata dengan ketat namun tidak kaku, dan menyajikan deskripsi/narasi sebagai daya ungkap yang ringan dan bersahabat. Itu tampak dari awal bait pertama sampai akhirnya.
Adapun kata "pohon besar dan air mancur warna warni " menjadi penanda dan ciri dari warung yang dimaksud. Sekaligus memberi gambaran bahwa warung telah menjadi "ikon dan komoditas budaya instan kita", untuk level masyarakat manapun.
Struktur pada baik kedua, semacam jeda dan ajakan untuk pembaca, apakah ia masih mau mengikuti alur puisi ini.
Di bait ketiga, penulis tetap menggunakan diksi yang longgar, tetapi diusahakan memantik estetik tersendiri, seperti ://Sebelum engkau datang aku akan meminta pengunjung lain
untuk bersikap apa adanya.
Atau kalau bisa mereka mencari warung lain saja//.
Ungkapan mencari warung lain saja, menjadi penguat bahwa janji yang dimaksud penting, dan kita memang bisa  membooking tempatnya.
Lalu pada bait keempat, menjadi agak paradoks dan bermaksud sebagai bentuk sinisme, menyindir sikap cuek para pengunjung warung (berwifi) yang sibuk sendiri: //Tapi kita tak usah duduk berhadapan;
Kita saling membelakangi saja, bertukar bayangan dan harapan//.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H