Aku berjanji menemui di warung kopi
Yang di sebelahnya ada pohon besar
Dan di depanya ada air mancur warna warni.
Nanti aku duduk di deretan kursi paling belakang.
Sebelum engkau datang aku akan meminta pengunjung lain
untuk bersikap apa adanya.
Atau kalau bisa mereka mencari warung lain saja.
Apa engkau yakin akan menemuiku di warung kopi?;
Kita bertemu dan bicara disini
Kita bisa bahas apa saja
Kita bisa menyimpulkan dan memutuskan
Atau kita diam saja dan orang orang memperhatikan kita.
Aku menunggumu beberapa saat lagi...
Di tempat yang kusebut tadi
Tapi kita tak usah duduk berhadapan;
Kita saling membelakangi saja, bertukar bayangan dan harapan
Bahkan bermetaforma dalam ragam wajah digital
Lalu kita membuat janji baru, tapi tidak lagi di warung kopi.
Taufik Sentana, 21 Okt.2018.medialokal.aceh.
Berikut akan penulis sajikan secara ringkas bagaimana muncul dan klimaks dari puisi "Janji di Warung Kopi".
 Catatan ini menjadi langkah baik bagi siapapun yang terdorong untuk membangun iklim apreasiasi puisi (karya sastra lainnya) dalam interaksi sosial kita.
Pendekatan pemahaman proses kreatif ini penulis tampilkan melalui struktur fisik dan batin puisi. Struktur fisik, antaranya adalah diksi dan gaya bahasa. Adapun batinnya adalah, tema, nada, rasa dan amanat.
Sebagaimana makna asalnya, "puisi", dalam bahasa latinnya diartikan dengan "menyusun, merangkai, mencipta", menulis realitas baru berdasarkan penghayatan dan pengkonsentrasian bahasa (Herman JW, 1995).
Maka kehadiran atau terciptanya puisi di atas juga berdasarkan dari interaksi penulis dengan realitas sehari hari.