Tulisan ini dibuat tanpa melakukan analisa statistik terlebih dulu. Hanya mengandalkan kira-kira saja. Boleh dibilang hampir seluruh penduduk negeri ini kalau SD saja kemungkinan besar sudah lulus, atau paling tidak pernah mengecap bangku SD. SMP dan SMA juga boleh dibilang sebagian besar sudah lulus. Selanjutnya lulusan S1 juga termasuk cukup besar dibandingkan dengan negara-negara lain yang setara. Sekarang inipun S2 dan S3 juga sudah bukan barang langka lagi. Hampir semua pejabat lulusan S2 atau S3, atau minimal S1.
Lulus SD berarti minimal pengetahuan dasar sudah dikuasai seperti membaca, menulis, dan berhitung. Lulus SMP dan SMA berarti pengetahuan-pengetahuan tambahan yang diperlukan untuk memudahkan diri di dalam kehidupan juga sudah dikuasai. Lulus S1 berarti sudah menguasai teori-teori dalam kehidupan ini dan dapat melakukan analisa mendalam tentang teori-teori tersebut sehingga dapat menerapkan teori-teori tersebut secara tepat di kehidupan (applicable), bukan hanya sekedar menjalankan teori belaka.Â
Lulus S2 berarti bukan hanya ahli menerapkan teori di kehidupan nyata, tapi juga sudah mampu melakukan modifikasi-modifikasi tertentu yang dibutuhkan terhadap teori tersebut agar benar-benar applicable. Lulus S3 berarti sudah benar-benar mumpuni yang dibuktikan dengan membuat teori-teori baru telah dibuktikan validitasnya.
Tak jarang seseorang mempunyai gelar yang sangat panjang yang menunjukkan keahliannya di bidang tertentu. Sudah menjadi hal umum apabila gelar-gelar itu dipajang/dituliskan dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Tetapi bagaimanakah dengan SD SMP SMA S1 S2 S3 dalam kehidupan pribadinya? Apakah dia sudah menguasai ilmu tentang dirinya sendiri? Ternyata ini belum tentu. "Lulus SD dalam kehidupan pribadi" bisa diumpamakan sebagai bahwa seseorang sudah mampu memelihara dirinya sendiri secara fisikal seperti sanggup makan sendiri, mampu mandi sendiri dan seterusnya.Â
Lulus SMP dan SMA dalam kehidupan pribadi berarti seseorang sudah mampu berinterksi dengan orang lain seperti mengerti sopan santun, adat istiadat, hukum peraturan yang umum, dan seterusnya. Lulus S1 dalam kehidupan pribadi berarti seseorang sudah memahami mengapa harus mentaati peraturan, mengapa harus menjaga sopan santun mengapa harus mengendalikan diri, dan seterusnya. Lulus S2 dalam kehidupan pribadi berarti seseorang sudah master atau sudah mampu mengendalikan dirinya. Lulus S3 dalam kehidupan pribadi berarti seseorang bukan hanya sudah mampu mengendalikan diri sendirinya saja, tetapi sudah mampu menerapkan suatu mekanisme untuk mengendalikan lingkungannya juga. Kira-kira seperti itulah.
Lalu bagaimanakah kenyataannya di sekitar kita? Apakah ada kolerasi antara gelar akademis yang disandang seseorang dengan kemampuannya untuk mengendalikan dirinya sendiri? Umumnya dengan bertambahkan pengetahuan seseorang akan bertambah juga kemampuannya untuk mengendalikan dirinya sendiri. Tetapi rumus ini ternyata tidak selalu berjalan dengan baik. Ternyata malah banyak manusia-manusia dengan pendidikan tinggi, dengan gelar mentereng, justru melakukan perbuatan-perbuatan yang mencoreng dirinya sendiri. Betapa banyak sarjana yang justru melanggar peraturan,Â
Atau Master yang justru tidak sanggup menguasai dirinya sendiri untuk tidak korupsi. Atau Doktor yang justru memberikan contoh buruk. Ini bisa jadi karena mereka hanya fokus ke pendidikan formalnya saja tanpa memperdulikan perkembangan diri pribadinya. Atau mungkin juga karena gelar yang diperoleh bukanlah gelar yang diperoleh dengan sungguh-sungguh alias palsu, sehingga tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap perkembangan diri pribadinya.Â
Yang manapun itu maka boleh dibilang mereka adalah orang-orang yang gagal. Orang pandai atau orang berkuasa yang rusak jauh lebih berbahaya dibandingkan orang bodoh yang rusak. Orang bodoh yang baik jauh lebih berharga dibandingkan orang pintar yang rusak. Maka lulus SD SMP SMA S1 S2 S3 terhadap kehidupan diri pribadi adalah jauh lebih penting untuk diperjuangkan. Terlebih karena ini juga bisa menyangkut urusan di akhirat kelak. Dan ini tidak diperlukan biaya mahal, alias gratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H