Saudara dari Perpisahan
Belakangan ini, trisno tidak terlalu menyukai kelasnya. Menurutnya kelas yang ditempatinya saat ini terlalu berisik, banyak orang yang suka bercanda dalam segala kondisi. Terlebih lagi, banyak teman yang suka bercanda dengan Trisno walaupun Trisno tidak terlalu suka bercanda. Sejak SMP dulu, Ia tidak terlalu banyak berbicara, sehingga sedikit pula interaksinya. Tapi di kelas yang sudah satu semester ini, seperti banyak yang terlalu peduli padanya. Bukannya Trisno tidak suka berteman, hanya saja Ia lebih terbiasa dengan lingkungan SMPnya dahulu.
Mendung mulai terlihat di sore hari itu. Semua berjalan seperti biasa, tidak ada yang aneh. Hanya saja, Trisno mulai merasa berbeda sebab hanya dirinya yang berjalan berlawanan arah. Semua temannya tampak berjalan keluar dari asrama sekolah, sedangkan Trisno dengan santainya melangkah menuju pintu masuk asrama. Ia baru saja pulang dari sholat Ashar di musholla yang tak jauh dari tempatnya saat itu. Trisno merasa sedikit bingung sebenarnya, namun wajah seorang yang berkumis tipis itu masih tampak biasa saja.
“Yokk Tris, udah ditunggu Pak Bontang nih. Bahkan seharusnya kita udah pada nyampe di aula sekolah dua menit yang lalu.” ucap Khansa, salah seorang teman satu lorongnya.
Trisno lumayan terkejut saat mendengar hal itu. Baru saja tiga langkah jaraknya dari pintu masuk asrama. Diriya belum bersiap sedikitpun, bahkan masih bersarung. “Lah, memangnya ada apa ya, Sa? Semua anak kelas sepuluh kah? jawab Trisno spontan, sambil melepaskan pecinya.
“Iya Tris, kata beliau semua anak kelas sepuluh wajib kumpul di aula sekarang. Eh, dua menit yang lalu maksudnya Tris. Buruan Tris, udah terlambat nih. Pak Bontag bilang ini penting banget.” balas Khansa.
Kalimat Khansa memnimbulkan banyak pertanyaan di hati Trisno. Tidak biasanya ada kumpul mendadak seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya sudah harus bergegas, tidak boleh banyak berfikir. Dengan melepas senyum dan ucapan terima kasihnya pada Khansa, Trisno langsung berlari menuju kamarnya. Dengan terburu-buru Ia ganti sarung dan peci itu dengan pakaian formal. Berpenampilan rapi sudah menjadi salah satu ciri khas dari seorang Trisno. Sebuah kebiasaan yang telah diajarkan orang tuanya sejak kecil.
Suara berisik semakin terdengar, sebanding dengan dekatnya Trisno dengan tempat berkumpul teman-teman sekolahnya. Emapat langkah sudah jaraknya sejak Ia masuk lewat pintu selatan aula, pintu berkaca yang sudah kelihatan sangat tua. Lahkah Trisno seperti orang kebingungan, tak jelas kemana arahnya. Matanya pun masih melirik dan menebak tempat berkumpul teman-teman kelasnya. Tidak seperti biasanya, sore ini teman-teman Trisno duduk secara acak, melanggar budaya duduk bersama yang sudah dibangun kelasnya sejak satu semester yang lalu. Dengan cepat, pria yang murah senyum ini mengambil tempat duduk paling depan yang kebetulan masih kosong.
Sebagai seorang yang sedikit bicara, Trisno hanya diam menatap keadaan sekitarnya. Disisi kiri depan, agak terpojok, terlihat seorang yang berurang kali mencoba kualitas microphone, sambil memutar-mutar tombol sound system milik sekolah. Murid-murid kelas sepuluh masih terlihat bercanda, sambil menunggu suara informative dari Pak Bontang, guru social studiesasal Maluku yang sering bercanda. Walaupun Trisno merasa terlambat, tapi sebenarnya acara belum dimulai.
“Assalamu’alaikum Warahmatullah, My students!”, ucap pak Bontang dengan pengeras suara. Semua murid kelas sepuluh menjawab salam pak Botang dan siap untuk mendengarkan kalimat pak Bontang selanjutnya.
"Sebelumnya bapak minta maaf, Nak." Kali ini bapak akan mengumumkan informasi yang mingkin tidak mengenakkan bagi kalian. Mulai saat ini, kelas kalian akan diacak dengan susunan yang baru. Bapak tau kalau hal ini memang kurang nyaman bagi kalian. Apalagi kalian memang sudah dekat satu sama lain. Tapi yakinlah, Nak! ini adalah keputusan yang terbaik untuk kalian. Sekarang bapak akan bacakan daftar absen kelas kalian yang baru." kata pak Bontang dengan suara yang lunak.