Mohon tunggu...
Taufiq Pasiak
Taufiq Pasiak Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pemerhati Kajian Otak, Perilaku Sosial dan Cara manusia berpikir. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ilusi Pemimpin Besar dan Ilusi Warren Harding

29 Juni 2014   17:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:18 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

ILUSI PEMIMPIN BESAR DAN ILUSI WARREN HARDING

Tanggapan atas tulisan Prof Hamdi Muluk

Oleh Taufiq Pasiak

Seorang kawan mengirimkan sebuah tulisan sangat menarik berjudul Ilusi Pemimpin Besar (Kompas.com, 28 Juni 2014). Tulisan itu ditulis Prof Hamdi Muluk, guru besar psikologi politik UI-Jakarta. Prof Hamdi saya cukup kenal, setidaknya melalui sejumlah tulisan beliau perihal psiko (patologi) politik dan beberapa kali kami bertemu sebagai fasilitator di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.  Sebagaimana saya membaca tulisan2 beliau yang bernas dan mengikuti ceramah beliau yang luar biasa, beliau juga pernah mendengar presentasi saya tentang kejujuran dan sistem kendali otak manusia di KPK RI. Catatan ini perlu saya sampaikan sebagai rujukan bahwa saya cukup baik mengikuti pemikiran beliau dalam soal psiko (patologi) politik. Saya mengidolakan beliau karena di Indonesia masih jarang ilmuwan sekelas beliau yang mumpuni ilmunya. Juga karena kami sama-sama mempelajari soal manusia. Beliau mempelajari psiko (patologi) politik, saya mempelajari otak dan cara manusia membuat keputusan (decision making) dan pengendalian diri (self control)

Tulisan Ilusi Pemimpin Besar mengusung 4 pokok pembicaraan: 1) pemimpin besar itu adalah sebuah ilusi. 2)  pemimpin itu tumbuh dari dan bersama rakyat, pelan-pelan, sejengkal demi sejengkal, 3) pemimpin berpeluang besar dimitoskan. mitologisasi itu adalah sesuatu yang berbahaya, dan 4)Kita tidak mencari pemimpin omnipotent, sosok sempurna yang tak ada kelemahannya, tapi kita mencari otoritas eksekutif yang mengerti persoalan konkret masyarakat. Tulisan saya ini ingin mempertajam pembahasan bernas Prof. Hamdi ini.

Neuroplastisitas otak pemimpin:  Relasi antara manusia dan lingkungan

Menurut Prof. Hamdi, Adanya pemimpin besar seperti Hitler, Napoleon, Mussolini,  Saddam Hussein, Joseph Stalin, dan Kim Jong Il adalah sebuah ilusi. Karena mereka yang semula diagungkan karena dianggap bisa membawa kebaikan bagi rakyat, senyatanya justru merupakan orang-orang yang membawa derita nestapa bagi rakyat. Menurut beliau, itu bisa terjadi karena mereka sebenarnya menderita gangguan jiwa, tetapi sejarah lupa mendiagnosis gangguan jiwa itu. Saya kira ini pernyataan menarik, setidaknya jika kita mencoba menelusuri sejumlah pemimpin besar yang pernah ada dalam sejarah.

Pendapat Prof. Hamdi ini bisa dimaklumi karena ia memotret pemimpin2 ini dari pendekatan trait (sifat pemimpin). Meski ada pendekatan lain seperti disebutnya (situational, contingency, transactional, transformational, dan authentic leader). Selain yang disebut beliau di atas ada juga pendekatan lain seperti power influence, behavioral dan integrative sebagaimana diteliti oleh Stephen Covey (The 8th Habit. From Effectiveness to greatness, 2004., appendix 2, hal. 352-358). Bahkan menurut Covey, kini para ahli kepemimpinan mulai memberikan perhatian lebih besar pada faktor-faktor situasional dan lingkungan dimana pemimpin itu berada. Pada akhirnya ada teori Integrasi yang memberi penekanan pada interaksi dinamis antara manusia dan situasi (personal-situasional), termasuk bagaimana seorang pemimpin muncul secara kebetulan (contingencies). Menarik untuk mengkaji pemimpin dengan teori Personal-Situasional (Bernard, Brown, Gibb, dll) jika melihat bagaimana ilmu otak (neurosains) menjelaskan perubahan-perubahan dalam perilaku manusia diakibatkan oleh interaksinya dengan situasi dan kondisi lingkungan sekitar. Pengaruh lingkungan terhadap otak dan perilaku manusia dikenal sebagai neuroplastisitas.

Prinsip ke 4 dalam prinsip-prinsip kunci ilmu otak (the essential principles of Neuroscience) sebagaimana dipublikasikan oleh Society for Neuroscience Amerika adalah bahwa pengalaman hidup dapat mengubah struktur otak manusia (life experiences change the nervous system). Sebagaimana diterima selama ini bahwa otak adalah perangkat keras untuk sifat dan perilaku manusia. Perilaku manusia, tak terkecuali perilaku seorang pemimpin, bisa berubah dan selalu punya peluang besar untuk berubah. Dengan menggunakan alat pencitra otak (brain imaging) para ahli bisa melihat secara langsung bagaimana sirkuit otak berubah sebagai respon terhadap stimulus dan lingkungan (Reff. Diamond, Cozolino, LeDoux, Amin)

Pendekatan Neuroplastisitas Otak pemimpin ini mampu memberikan penjelasan bagaimana sampai pemimpin-pemimpin besar seperti Hitler, Mussolini, Napoleon, Saddam Hussein, Joseph Stalin, dan Kim Jong Il, yang semula diikuti, diidolakan dan dimitoskan, tiba-tiba berubah menjadi monster jahat. Pendekatan neuroplastisitas ini pula yang bisa menjelaskan mengapa sejumlah pemimpin kita, anggota legislatif, para tokoh, yang semula adalah figur-figur agung, tiba-tiba berubah menjadi manusia korup. Sifat aseli mereka berubah akibat tekanan dan kesempatan. Peluang berubah selalu ada. Karena manusia bukan benda mati yang tak berkembang.

Jadi, tak sepenuhnya benar pendapat bahwa pemimpin-pemimpin yang semula terindikasi narsisistik, over-ambitious, arogan, kurang empati sosial, dan kontrol emosional yang rendah, akan begitu terus sepanjang ia berkuasa. Pendekatan neuroplastisitas otak memberikan ruang adanya perubahan dalam otak—dan karena itu memengaruhi sifat dan perilaku—si pemimpin. Itu sebabnya, otoritas legislatif, kelompok-kelompok oposisi, tim penasihat, dan inner circle dari si pemimpin menjadi sangat bermakna kehadirannya. Di Negara kita, sejumlah pemimpin sudah menjadi bukti hidup bahwa kekuatan-kekuatan di luar dirinya memberikan pengaruh yang sangat kuat, bahkan sampai bisa menjatuhkan sang pemimpin. Tentunya, ini pelajaran berharga bagi siapa pun yang akan menjadi pemimpin.

llusiWarren Harding

Warren Harding adalah Presiden Amerika ke 29 dan hanya menjabat selama 2 tahun (1921-1923). Ia wafat tiba-tiba di California dan diduga akibat stroke. Sejarahwan Amerika menyatakan bahwa Harding adalah salah satu presiden sangat buruk dalam sejarah Amerika. Ia Presiden Amerika, dan mengapa sangat buruk?

Harding seorang lelaki berpenampilan sangat menarik, ia sangat tampan dan memesona di usianya yang ke 35 tahun. Mentornya ahli hukum dan pelobi ulung Harry Daugherty menyodorkan nama Harding ketika para petinggi Partai Republik tidak memiliki calon Presiden yang bisa diterima oleh semua orang. Harding diterima dan disiapkan segala sesuatunya. Ketampanan dan penampilannya diatur untuk menutupi kelemahannya paling mendasar dalam soal kecerdasan. Kekurangannya sebagai peminum kelas berat dan pemain perempuan ditutupi oleh serangkaian citra yang indah. Citranya dibangun sedemikian rupa sehingga rakyat melihatnya sebagai pemimpin yang diimpikan. Cara berpidato dan penyampaian gagasannya diatur sedemikian rupa sehingga tampak mengesankan. Rakyat terpesona dan kemudian memilihnya sebagai Presiden Amerika, dan waktu kemudian membuktikan bahwa ia Presiden sangat buruk dalam sejarah Amerika.

Fenomena pencitraan yang memesona ini nyatanya sebuah ilusi luar biasa. Penulis Malcolm Gladwel menyebutnya sebagai Warren Harding Error (2005 : 73). Saya menerjemahkannya sebagai Ilusi Waren Harding (IWH).  Saya sebut ilusi karena sejatinya itulah yang terjadi. Yang kita lihat dari Harding adalah ilusi visual, semacam tipuan mata yang dalam sekejap bisa memengaruhi persepsi jika seseorang tidak sadar. Kita melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Yang kita lihat adalah citra. Citra ilutif itu membangkitkatkan bagian otak primitif kita bernama sistem limbik. Pengambilan keputusan kemudian terjadi melalui Sistem-1. Sistem-1 ini bekerja otomatik dan cepat seperti robot, emosional, instinktual, tanpa kontrol, dan tanpa usaha (Kahneman, 2011: 20). Sistem-1 ini bekerja baik jika seseorang berada dalam keadaan terancam dan ketakutan.

Pencitraan pada dasarnya menipu cara manusia mengambil keputusan dan umunya dipakai sebagai strategi periklanan. Citra membungkus keaslian dan mengabaikan apa yang semestinya dilihat. Dalam pembelajaran politik pencitraan akan membuat pemilih atau rakyat tidak terdidik secara politik. Karena yang mereka lihat adalah kemasan atau bungkusan. Itulah yang terjadi dengan Warren Harding, Presiden terburuk dalam sejarah Amerika.

Sejarah akan mencatat

Persoalan kita saat ini sesungguhnya bukan saja pada kapasitas seorang pemimpin membumikan gagasan-gagasannya menjadi realitas yang menggerakkan, tapi juga bagaimana interaksi pelbagai komponen dalam kepemimpinan, dan terlebih-lebih adanya kesempatan dimana seseorang bisa diuji kemampuannya mengimplementasikan gagasannya.

Jika mencermati persoalan kepemimpinan di Negara kita—secara lebih spesifik perihal pemimpin/orangnya—kita menemukan banyak hal yang mencengangkan. Ada sejumlah orang yang semula kita kenal sebagai orang baik-baik dalam pelbagai sisi kehidupannya, tetapi begitu mendapatkan kesempatan dan hidup dalam suasana penuh peluang, maka seketika, secepat kilat, ia bertransformasi menjadi manusia-manusia jahat, yang tak pernah bisa kita duga sebelumnya baik dengan pemeriksaan kejiwaan maupun dengan rekam jejaknya. Sementara di sisi lain, kita mendapati orang-orang yang semula biasa-biasa saja  baik dalam pengalaman maupun pendidikan, begitu diberikan peluang, ia bisa memanfaatkan dengan baik membumikan ide-idenya yang brilian dan mumpuni. Kita tak pernah membayangkan seseorang yang berpendidikan tinggi, kaya raya, berpengaruh, lalu kemudian terjerat korupsi dan kejahatan-kejahatan luar biasa.

Seperti juga Prof Hamdi yang menemukan hal-hal buruk dalam hiruk pikuk pilpres 2014, saya juga melihat hal serupa. Bedanya, Prof.Hamdi melihat dari sisi pemimpin yang disebutnya Ilusi itu, sementara saya melihat ada upaya pembodohan terhadap rakyat yang dilakukan secara sistematis. Alih-alih memintarkan rakyat dengan mengajari mereka hal-hal ril, faktual dan apa adanya calon pemimpin mereka, tetapi justru mengajari rakyat untuk percaya pada citra, pada bungkus dan pada kemasan, yang disebut sebagai Ilusi Warren Harding. Sebagian besar rakyat Indonesia yang masih berpikir menggunakan sistem limbik (sistem-1) yang mudah terpana dan terpesona dengan tampilan visual, emosional, jangkauan pendek (short term), sulit berlama-lama dengan informasi yang menyita pikiran (rational endurance), sudah sepatutnya pelan-pelan kita ajari mereka bagaimana semestinya sebuah keputusan harus dibuat. Dalam keadaan tidak terancam, sepatutnya setiap pemilih menggunakan cortex prefrontalis otaknya sehingga ia bisa berpikir secara rasional dan canggih. Dan saya sepenuhnya yakin bahwa rakyat kita tidak sedang berada dalam ancaman. Sehingga mengajari mereka menggunakan ilusi (visual) untuk membangkitkan sistem limbik mereka ketika mengambil keputusan sungguh-sungguh suatu cara yang salah mendidik rakyat menjadi melek politik. Sejarah akan menghukum kita karena kita memberikan amunisi yang salah, menunjukkan jalan yang keliru dan membuka pintu yang berbahaya bagi rakyat yang sedang menuju kesadaran politik.

Dr.dr.Taufiq Pasiak, M.Kes., M.Pd.I.,

Dosen FK UNSRAT Manado, Sekjen Masyarakat Neurosains Indonesia; Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku UNSRAT Manado.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun