Mendadak saya teringat Bung Karno (BK). Ia menulis dengan amat luar biasa soal ‘bangsa’, soal nasionalisme, dan soal sikap percaya diri yang tinggi sebagai bangsa. Dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marksisme, tulisan pertama dan pembuka buku Di Bawah Bendera Revolusi (djilid pertama, 1959), ia mengutip pendapat sejumlah ilmuwan dan sastrawan, lalu memberikan suatu penekanan penting: “bagaimana djuga bunjinja keterangan-keterangan jang telah diadjarkan oleh pendekar-pendekar ilmu jang kita sebutkan di atas tahadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis menimbulkan suatu rasa pertjaja akan diri sendiri, rasa jang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perdjoeangan menempuh keadaan-keadaan, jang mau mengalahkan kita” (halaman 3-4). Tulisan ini dibuatnya tahun 1926, sekira hampir 20 tahun sebelum ia merumuskan Pancasila. Pendiri bangsa ini tampaknya jauh-jauh merindukan suatu nasionalisme, suatu keadaan sebangsa, suatu perasaan senasib yang diikat oleh kesamaan-kesamaan budaya mereka. Diakhir tulisan ia menyatakan “Kita harus bisa menerima; tetapi kita djuga harus bisa memberi. Inilah rahasianja Persatuan itu. Persatuan tidak bisa terdjadi kalau masing-masing fihak tidak mau memberi sedikit-sedikit pula” (halaman 20). BK seorang pejuang pemikir yang jenius. Ia sudah memikirkan tentang pentingnya orang-orang bersatu, pentingnya saling memberi dan saling menerima, dan terutama merasa diri sebagai satu tubuh. Itulah persatuan, kata BK. Ia kemudian memastikan pentingnya persatuan itu dalam Sila ke 3 : Persatuan Indonesia (bukan Persatean Indonesia, seperti pidatonya suatu waktu).
Persatuan Indonesia rasanya penting diingatkan kembali menjelang Pilpres dan terutama pasca Pilpres 9 Juli 2014 nanti. Friksi dan pertentangan dalam Pilpres bukanlah barang baru. Biasa dalam kehidupan demokrasi. Sekali-sekali bersitegang itu menyenangkan, sejauh tidak jatuh ke dalam konflik fisik yang merusak. Patut merenungkan apa yang dinyakan oleh Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) V/Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Eko Wiratmoko. Ia prihatin dengan para seniornya, yang sudah pensiun, saling serang satu sama lain di Pilpres 2014. Mereka masuk tim sukses dua pasang capres-cawapres yang tengah bersaing.
"Saya sangat prihatin dengan apa yang dilakukan para petinggi TNI yang sudah purnawirawan. Mereka saling menghujat, saling membuka aib. Di mana hal itu bertentangan dengan apa yang mereka ajarkan pada saat mereka aktif dulu kepada juniornya sesama tentara," ujar Eko. Menurut Pandam, keadaan ini justeru memperkeruh suasana (VivaNews, 10/6/14). Pilpres kali ini sungguh menarik. Bukan saja karena ikut sertanya Prabowo—Mantan Danjen Kopassus yang diisukan bertanggung-jawab atas peristiwa Mei 1998—atau ikut sertanya Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjabat dan pernah bersumpah akan menjalani tugas sebagai gubernur selama 5 tahun. Namun, menarik juga karena pertama kalinya pasca reformasi hanya ada 2 calon Presiden yang akan dipilih langsung oleh rakyat.
Ini duel maut. Duel karena head to head (“satu lawan satu”). Ilmu neuroekonomi (yg mengkaji pengambilan keputusan ekonomi dari sudut kinerja otak dan mental) menyatakan bahwa makin banyak pilihan atas barang-barang, maka pengambilan keputusan makin rumit. Sebaliknya, makin sedikit pilihan akan makin gampang. Jika dihadapan Anda dihamparkan 5 buah kue yang sama enaknya, tentu Anda akan butuh waktu lebih lama dan tingkat usaha yang lebih menguras energi untuk memilih salah satunya. Namun, jika kue itu hanya 2 jenis, akan lebih mudah menentukan pilihan. Sejatinya, dengan 2 Capres saja (Prabowo dan Jokowi) kita menjadi lebih mudah menentukan pilihan. Namun, masalah baru justru muncul. Ternyata memilih 1 kue dari 2 kue tidak berimplikasi apa-apa (‘kalau toh salah pilih kue, nanti ambil lagi kue yang lain”) dibandingkan memilih salah satu calon dari 2 calon Presiden. Pendukung akan mengelompok hanya dalam 2 sudut. Berhadap-hadapan, saling memandang dan saling sigap menelikung. Sampai tulisan ini dibuat (11/6/14) segmentasi itu kian nyata dan kian keras. Saling menelanjangi, saling menghujat dan saling fitnah. Secara tiba-tiba lahirlah para ‘analis’ politik amatiran dengan latar belakang berbeda-beda: PKL, buruh, guru, tukang masak, sopir, pembantu rumah tangga, pedagang, ruhaniwan, dokter, tukang bakso, PNS dan lain-lain. Mereka tiba-tiba begitu lihai jadi jurkam (‘mengirim postingan dan berita yang mendukung atau menjelekkan salah satu calon’) dan menjadi analis politik amatiran (‘pokoknya, jika berbeda, segera serang balik, dan cari argumentasi yang liar dan jahat sekalipun untuk meneguhkan pendapat’). Para amatiran ini tampaknya lebih jago dari analis politik sungguhan, meski mereka sebenarnya sedang menelanjangi diri mereka sendiri, dan menjadi provokator nyata bagi konflik antar pendukung. Itu sebabnya, saya sebut duel maut, karena memang ini duel saling mematikan dan menghancurkan.
Siapapun nanti yang menang duel maut ini akan berlanjut. Saya membayangkan suatu duel yang berbahaya di tahun 2015 nanti. Karena itu, saya menantang kedua Capres; bersumpahlah di hadapan rakyat dan di hadapan Tuhan bahwa siapa pun yang nanti akan memenangkan duel maut ini, dia akan segera membuang jauh-jauh baju partai, baju golongan dan baju pendukung, dan menjadi pengendali atas dirinya sendiri. Ia hanya tunduk pada rakyat yang memilihnya dengan cara yang konstitusional. Ia tidak boleh tunduk pada kerabat (isteri, anak, adik-kakak, ibu-bapak), partai (ketua Partai, Pembina Partai, Pendiri Partai), finance supporter (para pengusaha yang menyumbang dana tak terkira), others supporter (kelompok alumni, ibu-ibu arisan, kelompok tukang ojek, ormas-ormas, relawan-relawan, dll), apalagi tunduk pada kepentingan asing yang datang dari luar. Beranikah Prabowo bersumpah di hadapan rakyat dan Tuhan bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kendali Hasyim adiknya atau Titi Prabowo-Cendana mantan/bakal isterinya? Dan beranikah Jokowi bersumpah juga bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kendali Ibu Megawati atau Puan Maharani?. Beranikah mereka berdua siap tidak menjadi boneka dari siapa pun (Hasyim atau Megawati, sebagaimana ini berkembang luas di masyarakat; atau boneka dari siapa saja). Orang-orang itu harus diposisikan secara sangat terhormat, karena mereka orang baik, tetapi Prabowo atau Jokowi harus tetap memiliki otonomi atas dirinya sendiri.
Saya membayangkan andaikata per-sumpah-an dihadapan rakyat ini terjadi, maka bukan main senangnya Bung Karno. Senang karena ia menemukan bahwa kedua Capres ini sudah ‘memberikan sesuatu’ bagi bangsa, yakni komitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan, terlebih-lebih menjaga anak bangsa yang akan terkoyak-koyak. Persatuan di atas segalanya. Sebab itu, setiap anak bangsa berkewajiban memberikan kontribusi bagi persatuan itu. Saya sudah mengajak, dan kini mari kita melakukan bersama-sama. Menjauhkan diri dari black campaign, bahkan negative campaign juga; kita atur barisan bersama-sama agar kedua Capres ini bersaing dalam semangat kegembiraan (seperti kata Capres Jokowi) atau bermartabat (seperti kata Capres Prabowo). Anda dan saya, kali ini bukan Capres. Namun, kita melakukan sesuatu yang setara dengan yang dilakukan oleh Capres yang mencintai persatuan banga. Maju Indonesia. Jayalah Indonesia! (Wale Kaleosan, 11 Juni 2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H