Mohon tunggu...
Taufiq Nugroho
Taufiq Nugroho Mohon Tunggu... -

hompimpa alaium gambreng...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kirana, Cantik itu?

2 Januari 2013   08:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:38 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13571167521183996270

[caption id="attachment_225393" align="alignleft" width="300" caption="flickr.com"][/caption] Waouw !! Tahun Baru tiba. Saatnya kerja dengan sepenuh semangat. Hari yang ditunggu-tunggu semua orang di divisi ku akhirnya datang juga. Bukan, bukan hanya gaji baru yang kami jemput. Hari ini, Rabu 2 Januari 2013, kami menunggu datangnya jam 9.00 pagi. Karena tepat jam 9.00 nanti sekretaris boss dikantorku akan membawa seorang karyawan baru. Ah, lebih tepatnya seorang bidadari. Dan kalian tahu ? Ia akan didudukkan tepat disebelah kanan meja kerjaku !!.

Sejak sebulan lalu setelah dapatinformasi dari Sekretaris tentang diterimanya orang itu, ke lima jomblowan di divisi ku pun saling bersaing. Tak terkecuali Aku!. Ughh… Gak kebayang gimana nanti bersebelahan dengan bidadari, pasti konsentrasi kerjaku bakal terpecah. Heeyyy… Jangankan konsentrasi kerja, perpecahan bahkan sudah mulai dari niatku, yang tadinya hanya fokus pada kerjaan sekarang bakal ada unsur menyombongkan sedikit kebolehanku dibidang gambar. Karena Aku disebelahnya, pasti kesempatanku akan lebih banyak dari para pesaingku nanti. Ah, orang baru!. Pasti bakal banyak nanya ini itu, dari masalah kerjaan sampai jalan ke toilet. Dari sifat-sifat atasan, sampai tempat-tempat makan siang yang enak dan nyaman. Mungkin khayalanku terlalu menghujam, senyumku yang menggelembung dengan mata kosong pun jadi bahan ledekan teman-teman sekantor, termasuk para pesaingku…

Tak berlebihan memang kalau kami sangat antusias, jangankan bertemu langsung. Baru lihat pas foto di lembaran Curriculum Vitae nya saja diperlukan pompaan darah ke jantung yang lebih dari biasanya. Bahkan bibirkupun seketika menyebut nama Tuhan karenanya. Tak terbayang, dibutuhkan berapa kali kencing bagi fotografernya untuk menindas perasaan groginya, demi selembar pas foto. Senyum yang terpancar dari foto itu memang sangat hidup. Kawanan kumbang diluar jendela pun kalau berani nyasar masuk pasti akan melupakan indahnya rangkaian bunga ditaman kantorku, dan kelakuannya pasti akan membuat bingung para ilmuan seantero bumi.

Rambut hitamnya rapi terurai. Alis lebatnya meruncing, gradasinya menyisakan bulu halus di kedua ujungnya. Bahkan Aku meyakini, seperti inilah alis nanggal sepisan yang dimaksud guru Bahasa Jawaku dulu di sekolah. Kalau sosok ini hidup dijaman Ramayana, Kerajaan Alengka pun tak perlu hancur karena penculikan Shinta. Inkarnasi Laksmi itu tak akan bisa menandingi kecantikannya. Sri Rama tak perlu meminta bantuan Kerajaan Kriskenda untuk menghancurkan Alengka, karena dapat dipastikan : Rahwana batal menculik Shinta!!. Ia pasti akan memilih meminang Kirana. Ya, gadis itu bernama Kirana, Masayu Kirana Putri. Dan diruanganku ada lima Rahwana.

***

Mental yang sudah Aku persiapkan pun runtuh berantakan, tiba-tiba aku jadi seperti anak SMP yang ketiban cinta pertamanya. Suhu ruangan berpendingin ini pun jadi gerah seketika. Salah tingkah Aku melihat Dewi Shinta didepanku, mengulurkan tangan dengan senyuman, “Ki ra naaaa….”

“Pan…,Pannn Jii..” tak mungkin Aku berlama-lama menatapnya, tapi menunduk pun ternyata mentalku tak siap untuk melihat bulu halus ditangannya. Butuh pegangan untuk menyamarkan kegugupan waktu mempersilakan ia duduk dikusrinya. Dan tiba-tiba stapler dimeja pun aku sambar sekedar untuk basa-basi. Tapi betapa bodohnya Aku, sedari tadi tangan kiriku kan memegang Sketch Book. Sejak kapan buku Sketsa berteman dengan stapler !!.

Minggu pertama bukan saja masih canggung, bahkan aku masih bingung soal nama panggilannya. ‘Kira…’, ah, Aku rasa Kira lebih mirip dengan saudara tua kita yang berekor panjang, berkoloni, bergelantungan tanpa celana !, dan tentu kurang elok didengar. Gimana kalau ‘Rana’. Waduh, kita tidak sedang belajar memahami cara kerja kamera kan ?. Aaaaaiii... ternyata ‘Nana’ panggilan akrabnya.

***

Ritual setiap paginya adalah berdiri didepan cermin wastafel, didepan toilet kantor. Mulailah Ia menata ulang letak baju dan roknya. Langkah kedua adalah memperhatikan setiap detail wajahnya. Tak perlu terlalu lama memang, karena kecantikannya sudah muncul sejak Ia bangun tidur. Seorang Kirana memang tak memerlukan banyak make-up, tapi nggak tau kenapa Ia tetap saja tak pernah lupa mengabsen isi wajahnya. Kening yang halus tanpa jerawat, bentuk hidung yang proporsi dan tanpa komedo, sepasang mata yang selalu tersenyum, pipi yang merona dengan sedikit bulu halus dipangkalnya, juga dagunya yang agak meruncing, menggemaskan. Tak cuma Aku, Rahwana-Rahwana lain dikantorku pun hafal dengan kebiasaannya, bahkan beberapa memerlukan pura-pura ke toilet demi semangat kerjanya sendiri seharian nanti. Melihat, atau lebih tepatnya… sekedar meliriknya bercermin tiap pagi adalah ibarat charger bagi handphone-handphone jomblo dikantorku. Ritual terakhirnya adalah memastikan setiap helai rambutnya jatuh tepat pada tempatnya. Dengan tatapan mata ke cermin, Ia kibaskan mahkotanya berulang kali, tak boleh se-senti pun meleset dari seharusnya. Dan tanpa Ia sadari, luluh lantak lah hati para Rahwana yang bersliweran disebelahnya…

Tak seperti kebanyakan kantor, office boy ditempatku hanya mencukupi kebutuhan kami, bukan melayani semua keinginan karyawan. Mereka hanya mencuci dan mengisikan segelas air putih disetiap meja. Maka kegiatan kami tiap pagi adalah nyuci perlengkapan pribadi kami masing-masing. Pantry. Ya, inilah salah satu tempat faforit kami, karena disini kami sesama karyawan bisa bebas bercanda dan tertawa bersama. Nana pun tahu kebiasaan itu dari Aku, kebetulan kami sama-sama pecinta kopi, maka tiap pagi kami pun selalu nyuci cangkir kopi. Pertama kali kesini tiba-tiba Ia kehilangan kelincahannya, meringis-ringis canggung ditempat cucian. Aku rasa terlalu lama Nana mencuci satu cangkir kopinya, ternyata belakangan Aku baru tahu kalau dia nggak biasa nyuci gelas. Ah, tapi dasar jelita, segala yang dilakukannya pun jadi kelihatan lucu, unik dan menggemaskan. Ia memang bidadari, yang tak pernah melakukan apapun kecuali yang Ia sukai.

Lama-lama kegugupanku menghadapinya pun bisa kuatasai. Hari ke hari kami pun makin akrab dan ternyata Ia typical orang yang cukup terbuka. Diantara para jomblo dikantorku memang Aku yang paling akrab dengannya. Orang bilang, intensitas menimbulkan kualitas.

***

Sekretaris datang lagi, dia menunjuk Aku sebagai salah satu karyawan untuk menilai performance kerja Nana selama masa percobaan. Selain blanko-blanko yang harus Aku isi, disitu terdapat juga biodata Nana. Iseng-iseng Aku baca juga biodatanya. Kali ini Aku rasai dunia benar-benar berhenti sejenak. Ternyata Ia se-agama denganku !!. Aku bahkan tak tahu apa yang kurasa, sedih atau senang kah Aku saat ini, hanya terlintas pertanyaan yang sangat mengganggu. Kenapa tak pernah kulihat Ia sembahyang selama disini ?? kenapa tak ku lihat cerminan agamaku di dirinya ??

Aku bisa memahami kalau hanya soal dia nggak bisa dan nggak ada minat masak, mungkin ini adalah perkembangan jaman, beres-beres rumah dan bajunya sendiri pun tak pernah Ia lakukan sendiri, semua diserahkan sepenuhnya pada pembantu. Atas nama emansipasi Aku pun harus merubah sudut pandangku, dan memakluminya. Meskipun kalau Aku jadi suaminya gajiku tak akan cukup untuk memenuhi itu semua, apalagi dengan perawatan tubuh setiap bulannya. Tapi dengan sendirinya, pancaran kecantikannya telah memaafkan kekurangan kecil ini.

Nana, Ia memang terlahir jadi bidadari, yang tak pernah melakukan apapun kecuali yang Ia sukai.

Agama… Ah, ilmu agamaku sangat pas-pasan. Tapi karena itulah jadi terlintas keluarga impianku nanti. Tak terbayang, bagaimana nanti nasip anak-anakku kalau agama kedua orangtuanya pas-pasan dan terlebih lagi Ibunya nggak bisa mengajarkan agama padanya. Bukankah Ibu adalah sekolahan pertama bagi seorang anak ?

Sampai sejauh ini soal agama Nana memang bukan urusanku. Hanya saja, ada satu hal yang perlu Aku evaluasi. Benarkah dia cantik?. Ahh, tidak tidak !! Bukan itu pertanyaannya. Benarkah definisi cantik yang selama ini Aku pahami ??.

Ahh, cantik itu ???

Bukan tak bisa Aku mengajarinya agama, tapi bukankah belajar itu butuh minat. Dan selama ini memang tak pernah Ia berminat tentang agama. Jangankan mempelajari, sekedar membahasnya pun Nana memang kurang antusias. Hmm... Aku rasa agama memang masalah privasi, termasuk Nana. Aku hanya butuh merenungkan lagi pengertian cantik. Bukan untuk mengusik keagamaan orang lain.

***

Terimakasih Nana, Kau telah membuatku berfikir sekali lagi tentang makna kecantikan yang sebenarnya. Kecantikan yang sejati…

Ahh, cantik itu ???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun