Mohon tunggu...
Taufiq Nugroho
Taufiq Nugroho Mohon Tunggu... -

hompimpa alaium gambreng...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gagang Teh yang Tak Tersaring

13 Agustus 2012   07:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:51 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Kalau kau sudah dikuasai keinginan memiliki dan menguasai benda… Sadarilah, bahwa sejatinya kau sudah berhenti jadi manusia. Benda-benda itu hanya akan memperbudak dirimu. Jadilah manusia Fiq, jangan kehilangan kemanusiaan”

***

Selesai meramu teh sehabis shalat taraweh dan tadarusan bersama para santri, Pakdhe Kyai memanggilku untuk menemaninya ngobrol. Meskipun Beliau Kyai, tapi kalau sekedar untuk membuat teh Beliau biasa melakukannya sendiri, tanpa harus memerintah orang lain. Termasuk Budhe, istrinya. Pakdhe adalah orang yang paling anti menggunakan teh celup, tak pernah Beliau mengabaikan rasa hanya demi sebuah kepraktisan. Teh tubruk yang diseduh dengan air mendidih adalah fanatisme nomor dua setelah agama bagi Beliau.

Pakdhe adalah sosok Kyai sederhana. Bahkan dari penampilan sehari-harinya pun sangat jarang Pakdhe tampil dengan surban di kepala, atau mengenakan jubah, apalagi rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Tidak pernah kutemui!!. Meskipun kerap beradu agrumen, sejujurnya aku mengagumi dan mengikutinya. Kecuali satu, soal penentuan awal Ramadhan kemarin. Aku lebih memilih mengikuti Pak Din Syamsudin. Dan beliau menghargai keputusanku, maafkan aku Pakdhe, hehehe…

***

Ah, sebenarnya males banget ngeteh bareng kalau ujung-ujungnya masih ngobrolin soal pembangunanmasjid kemarin. Apalagi dengan nuansa kepulan asap rokok yang nggak pernah mandeg dari mulutnya. Tapi dari segi usia, ilmu dan tingkat keimanannya, Pakdhe adalah orang yang harus aku hormati. Sudah semestinya aku turuti permintaannya.

Ditengah heningnya malam diteras belakang kami menyruput teh sambil mengamati sapi-sapi peliharaan Pakdhe, yang pada sibuk nggayemi dengan mata setengah terpejam. Pandanganku-pun menerobos sampai pondok pesantren yang berada disamping rumah. Lantai semen abu-abu tua. Barisan genteng yang sudah menghitam dan ditumbuhi lumut, meninggalkan warna aslinya. Hampir semua bangunan pesantren memang bangunan tua, bangunan semi permanen. Pancaran sinar dari dalam tiap ruangnya pun bocor tak beraturan disela uzurnya papan.

Sambil ngobrol ngalor ngidul tentang semua hal yang penting dan tidak, kuamati juga tumpukan rak yang tak terpakai dan bangku-bangku bekas yang ditinggalkan para santrinya. Tumpang tindih disudut-sudut bangunan, acak menghimpit papan tulis yang sudah kehilangan kehitamnya. Beberapa tahun belakangan ini jumlah santri terus menurun. Ilmu agama memang tak menarik lagi bagi generasi pemuja dunia.

Semua sudut pesantren tak luput dari pengamatanku, tak ada yang menarik. Semua begitu wajar, begitu sederhana. Mereka seolah tumbuh begitu saja dari lingkungan tempat tinggal kami, yang kemudian menjelma menjadi salah satu icon daerah kami. Tapi setelah kuperhatikan sekali lagi, baru keistimewaan mulai menampakkan diri. Ia muncul dari uniknya berbagai detail dan fungsi yang tepat guna disetiap inci bangunan. Seperti panjangnya bangunan utama dengan papan dan anyaman bambu diujung atasnya menjadi jaminan sirkulasi udara yang alami.

Keadaan ini membawa khayalanku menerawang. Tak lama lagi, papan hasil renovasi Pakdhe beberapa tahun lalu itu akan lapuk. Anyaman bambunya pun pasti akan usang, segera jadi bubuk.

Dan, satu lagi pemikiran Pakdhe yang selama ini aku anggap aneh terurai malam ini…

“Dalam hidup yang hanya sebentar, untuk apa membangun sesuatu yang abadi, sesuatu yang bisa bertahan untuk selamanya. Keabadian bukan jaminan kepemilikan untuk selamanya, ia adalah kealpaan dalam kefanaan hidup. keabadian dan kepemilikan adalah kosong semata”. Disela pekatnya asap rokok yang keluar dari mulut hitam keunguannya, hamburan kata-katanya mengurai, memenuhi heningnya malam. Redupnya cahaya lampu belakang rumah makin menguatkan sosok angker Pakdhe dimataku.

Beliau, simulut ungu yang selalu menggoncangkan isi kepalaku. Memporak porandakan jalan fikiran dan caraku mencerna hidup. Batok kepalaku yang sudah terlanjur keras sepertinya ikut mempersulit juga masuknya setiap makna dari omongan Pakdhe. Secara teknis, Pakdhe berargumen bahwa keseluruhan bangunan pesantren itu adalah bangunan yang bertanggung jawab.

***

Berkurangnya santri akhir-akhir ini membuat pesantren jadi makin terlihat luas. Lengang, tak seramai dulu. Ditengah kebingunganku mengimbangi obrolannya, baru aku sadari… Ternyata area pesantren telah jauh berkembang dan mengisi lebih dari separoh tanah keluarga. Inilah konsep kepemilikan menurut Pakdhe. Harta, tanah dan bangunan adalah untuk berbagi, untuk memberi. Bukan untuk menumpuk. “Taufiq… Kalau kau sudah dikuasai keinginan memiliki dan menguasai benda… Sadarilah, bahwa sejatinya kau sudah berhenti jadi manusia. Benda-benda itu hanya akan memperbudak dirimu. Jadilah manusia Fiq, jangan kehilangan kemanusiaan”.

Butiran kata-katanya meluncur dengan tenang, penekanan disetiap ucapanya seolah sedang menjejalkan doktrin keotaku. Rangkaian kata aneh yang memusingkan. Pakdhe bukan saja menjelaskan tentang bagaimana membangun rumah, tapi juga bagaimana membangun hidup. Beliau menyebut ini adalah bagian dari prinsip. Pakdhe iri pada samudera, yang dengan ikhlas menampung segalanya.

***

Aku telaah pembicaraan Pakdhe, meski nggak semua bisa aku pahami. Sepotong gagang teh yang tak tersaring meluncur kecangkirku, dan tertelan ditengah redupnya malam. Aku terbatuk. Memuntahkan lagi separoh dari ilmu yang telah kusaring malam ini…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun