Mohon tunggu...
Taufiq Nugroho
Taufiq Nugroho Mohon Tunggu... -

hompimpa alaium gambreng...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Join Kopi dengan Pakdhe Kyai

3 Agustus 2012   04:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:18 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13439678081584526255

Tidak ada salahnya Fiq, tapi pembangunan masjid megah pun diperlukan mental dan komitmen yang megah pula dari jamaahnya. Jangan kau lupa intinya. Kalau masjid berasal dari kata sa-ja-da yang berarti bersujud, bukankah hanya itu yang penting? Tempat beribadah, bersujud. Memuliakan nama-Nya?

***

Seperti biasa, saya cuma basa-basi menawarinya kopi sambil menunggu adzan isya. Tapi kali ini Beliau menanggapi serius. Udara yang dingin akhir-akhir ini memang sayang kalau dilewatkan tanpa menikmati seduhan kopi sehabis buka. Jadilah obrolan ringan saya dengan Pakdhe Kyai diteras rumah, ditemani secangkir kopi hitam yang terpaksa saya ikhlaskan untuk dinikmati berdua. Sebenarnya sejak awal aku sudah curiga. Dan benar saja, raut mukanya berubah serius, atau lebih tepatnyaa... cenderung gelisah ketika obrolan kami sampai pada masalah pembangunan masjid.

***

Menjelang datangnya Bulan Ramadhan masjid dikampungku memang baru saja selesai direnovasi, lebih tepatnya dirombak total! Semua memang sangat terencana. Detail, bahkan sejak dari proses desainnya. Tak tanggung-tanggung, berbagai masjid ternama dunia sampai majalah-majalah desain jadi referensi. Masyarakat pada umumnya menginginkan masjid yang megah, sebagai simbol syiar Islam didaerah kami.

Anggaran biaya yang membengkak tak pernah jadi masalah. Warga selalu optimis seberapapun banyaknya biaya yang dibutuhkan pasti akan mudah terpenuhi. Sumbangan dari para politisi daerah kami pasti deras mengalir, karena kampungku adalah salah satu icon, salah satu simbol keagamaan di daerah kami. Tentu ini jadi salah satu komoditas politik bagi negara yang bernuansa agamis. Sumber dana yang lain adalah dari giatnya para pemuda meminta sumbangan dipinggir jalan. Setiap pengguna jalan mulai dari sepeda motor, mobil pribadi, truck, bis antar kota antar propinsi, pedagang, guru, PNS, karyawan, bahkan copet yang melewati jalan yang membelah desa kami selalu tak luput dari sodoran kami. Kami selalu tawarkan pintu sorga, dan mereka yang memberi sumbangan pun langsung kami beri gelar Mujahid / Mujahidah. Pembela agama Alloh.

Sebenarnya sejak awal Pakdhe tidak setuju dengan pembangunan masjid yang berlebih dan terlalu megah. Beliau berusaha berfikir logis, paling tidak melihat kemampuan keuangan umat dan dana yang ada.

“Memang apa salahnya kalo kita bikin masjid yang megah Pakdhe?”

“Tidak ada salahnya Fiq, tapi pembangunan masjid megah pun diperlukan mental dan komitmen yang megah pula dari jamaahnya. Jangan kau lupa intinya. Kalau masjid berasal dari kata sa-ja-da yang berarti bersujud, bukankah hanya itu yang penting? Tempat beribadah, bersujud. Memuliakan nama-Nya?”

‘Masjid memang perlu diperbaiki, tapi sebaiknya renovasi itu disesuaikan dengan kemampuan keuangan kita, kemampuan jamaah setempat’, masih terngiang nasehat beliau di rapat-rapat penentuan keputusan. Tapi diluar dugaanku, Pakdhe Kyai yang merupakan salah satu tokoh agama didesa kami menghargai dan menerima hasil rapat bersama yang memutuskan untuk membangun masjid desa yang megah.

Pakdhe sangat hati-hati dalam urusan agama. Pembangunan masjid bagi beliau harus jelas dan dapat dipertanggung jawabkan, apalagi menyangkut sumber dana. Beliau khawatir kemegahan bangunan justru membuat jamaah lupa pada tujuan intinya.

“Fiq, saya nggak mau nanti warga harus terkaget-kaget didepan pintu neraka karena melihat para donatur masjid desa kita didalamnya”. Nada suaranya halus, serius. Sangat jarang Pakdhe Kyai bicara selembut ini terhadapku, dan kata-kata yang diucapkan benar-benar mengerutkan jidatku. Mungkin asupan buka puasaku tadi belum tersalur sampai otak, membuatku kebingungan mesti berekspresi seperti apa. Ada perasaan geli dan pengen tertawa mendengarnya, tapi ada rasa takut juga yang tiba-tiba menyergapku.

Saya hanya terdiam memahami kata demi kata yang diucapkan Pakdhe, nampaknya Beliau juga tak membutuhkan jawaban apalagi opiniku. Kali ini harus aku akui, ilmuku belum cukup untuk sekedar menanggapi obrolannya.

***

Udara dingin serta tenangnya dedaunan didepan rumah seolah menambah hening suasana. Temaram langit sehabis senja memperjelas datangnya kabut tipis yang mulai menggelantung di sekitar kubah masjid. Seperti langit malam dan kabut, Pakdhe Kyai tak pernah memisahkan masjid dan penghuninya.

Bukan hanya soal penghematan biaya pembangunan dan energinya yang jadi pemikiran Pakdhe, tapi menurutnya masjid juga mempunyai keterkaitan sosial dengan lingkungannya / jamaahnya. Masjid yang terlalu megah sepertinya kurang cocok dengan kehidupan keseharian kita. Ia akan jadi seperti benda asing ditengah kesederhanaan bangunan rumah-rumah warga pada umumnya. Sangat tidak mencerminkan umatnya, bahkan kesan arogan dan fanatik lebih terlihat.

“Bulan Ramadhan belum dapat separoh Fiq. Tapi bisa kau lihat, kemegahan masjid ternyata tak mampu mempertahankan jamaahnya.”

Membangun jamaah jauh lebih penting dan lebih sulit dari membangun masjid. Tingkat keimanan umat memang tidak berbanding lurus dengan tingkat fanatismenya. Masjid mulai sepi, shalat tarawih dan berbagai kegiatan keagamaan mulai ditinggalkan. Masjid itu terlalu mahal untuk sekedar shalat lima waktu.

Kita harus pahami bahwa selesainya pembangunan masjid bukan berarti selesai tugas kita, pembangunan ini adalah langkah awal. Masjid adalah sarana bagi umat islam, bukan tujuan.

“Ini bagian dari tanggung jawabmu juga Fiq, saatnya membangun dan memegahkan umat. Makmurkan masjid… makmurkan masjid…”

Adzan isya jatuh. Diangkat sekali lagi cangkir kopiku sampai dasar, dan beliau tinggalkan kebengonganku. Aku tak punya kesimpulan apapun. Tapi, aku rasai ada yang berdesir dari dalam lubuk hatiku.

Kopiku habis...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun