Kamis, 22 Februari 2024. Pelanggaran HAM berat di Indonesia tidak ada ujung-nya. Presiden silih berganti. Janji-janji dikatakan oleh oligarki agar pelanggaran HAM diselesaikan, tapi apa daya janji hanyalah sebuah janji untuk kepentingan pribadi dan politiknya sendiri. Kami tidak gentar untuk menyuarakan kebenaran!! Begitulah kurang lebih para aksi menyuarakan aksi kamisan tersebut.Â
 Sejak 18 Januari 2007 hingga saat ini, terhitung sudah 806 kali Aksi Kamisan berlangsung. Mengenakan pakaian dan payung serba hitam, setiap hari Kamis, keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia serta para aktivis berkumpul di seberang Istana Merdeka, Jakarta. Mereka menggelar aksi diam demi memperjuangkan tegaknya keadilan. Aksi Kamisan hari ke-806, konsisten menyuarakan pelanggaran HAM.
Ide Aksi Kamisan ini pertama kali muncul pada akhir tahun 2006, dimotori oleh Maria Katarina Sumarsih, ibu dari salah satu korban insiden demonstrasi tahun 1998. Didukung oleh Yati Andriyani dan Suciwati, istri almarhum Munir, Aksi Kamisan menjadi wadah bagi keluarga korban untuk menyuarakan keadilan.
Â
Aksi kamisan ini merupakan tuntutan kepada negara agar segera menyelesaikan masalah yaitu Pelanggaran HAM Berat masa lalu, dan juga menjadi pengingat terhadap ketidakadilan yang masih berkeliaran. Aksi kamisan identik dengan serba hitam. Warna hitam dipilih sebagai simbol kekuatan dari kesedihan yang berubah menjadi kasih sayang terhadap para korban. Sementara itu, payung diartikan sebagai lambang perlindungan, sementara Istana Presiden menjadi simbol kekuasaan.Â
Aksi Kamisan bukanlah aksi biasa; ini adalah seruan mereka yang meminta penyelesaian terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Talangsari, Pembunuhan Munir, hingga Tragedi 1965-1966 di Indonesia.
Pada hari Kamis, 22 Februari 2024 para aksi memberi pernyataan penyesalan sekaligus berharap dalam suratnya kepada Bapak Presiden, yaitu Bapak Ir. H. Joko Widodo.Â
Melalui surat ini, kami menyoroti dua periode masa pemerintahan Bapak Presiden yang tidak berhasil menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM secara utuh dan berkeadilan. Penegakan hukum dilakukan dengan setengah hati, atau bahkan sama sekali tidak diupayakan. Impunitas terus terawat di tengah ketiadaan komitmen nyata Negara untuk mempertanggungjawabkan sederet kasus kejahatan kemanusiaan yang merampas hak-hak warga negaranya secara sewenang-wenang. Bahkan, menjelang akhir jabatan Bapak Presiden, semakin terbukti bahwa janji-janji penghapusan impunitas dan penuntasan pelanggaran berat HAM secara berkeadilan hanyalah formalitas diucapkan untuk kepentingan elektoral.Â
Para aksi juga, menegaskan kembali agar Presiden untuk memerintahkan kepada pihak yang berwenang untuk mengusut tuntas kasus yang sudah mangkrak lebih dari 10 tahun, dan negara harus bertanggung jawab atas hal ini.Â